Hadits-Hadits Dhaif & Maudhu
Yang Banyak Beredar
Pada Bulan Ramadhan
(Oleh: Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
HADITS PERTAMA,
TENTANG GANJARAN ORANG YANG MELAKSANAKAN
IBADAH PUASA DAN SHALAT TARAWIH
TENTANG GANJARAN ORANG YANG MELAKSANAKAN
IBADAH PUASA DAN SHALAT TARAWIH
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ قَالَ لَقِيتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ
فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ
فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
'Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullâh, aku mengatakan kepadanya,
'Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu
(maksudnya Abdurraman bin 'Auf radhiyallâhu' anhu) tentang Ramadhân.'
Ia mengatakan, 'Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin 'Auf radhiyallâhu' anhu)
pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda,
'Bulan yang Allâh Ta'âla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya.
Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman
dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Ta'âla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya
sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya".
(HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân)
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu
layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan
oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh dalam kitab Taqrîb beliau
rahimahullâh.
Ibnu Khuzaimah rahimahullâh juga telah menilai
hadits ini lemah dan beliau rahimahullâh mengatakan bahwa hadits yang
sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'
anhu.
Hadits yang beliau maksudkan yaitu hadits yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat
jalur Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap pahala,
maka diampuni dosanya yang telah lalu".
maka diampuni dosanya yang telah lalu".
Juga ada sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat Bukhâri dan Muslim, yaitu :
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima' juga tidak fasiq,
niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu"
(HR. Bukhâri dan Muslim)
niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu"
(HR. Bukhâri dan Muslim)
HADITS KEDUA,
TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESABARAN
TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESABARAN
... وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
"Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman".
Hadits ini dhaif. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no.
3519 dalam Kitab ad-Dâ'awât, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam
Musnad beliau rahimahullâh (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan
Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini dha'if, karena Juraisy bin Kulaib
ini adalah seorang yang majhûl (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan
oleh Imam Ibnul Madini rahimahullâh (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78
karya Ibnu Hajar rahimahullâh).
Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ
"Dari Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu, ia mengatakan,
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran."
(HR. Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu)
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran."
(HR. Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu)
Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah
dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Tahdzîb, 10/318-320. Beliau ini seorang yang
shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah dalam periwayatan hadits.
Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya mengatakan, "Dha'if."
Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang
menjelaskan bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda
kepada seorang lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam
hadits yang panjang tesrbut terdapat kalimat :
صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ
"Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân".
(HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih)
(HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih)
Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan
lewat jalur Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu dari Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda tentang
bulan Ramadhân :
شَهْرَ الصَّبْرِ
"bulan kesabaran (Ramadhan)".
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullâh (2/263, 384
dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa'i rahimahullâh (3/218-219).
Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a'rabiyûn sebagaimana dalam
Majma'uz Zawâid (3/196) oleh al Haitsami rahimahullâh.
HADITS KETIGA,
TENTANG RAMADHAN DIBAGI TIGA
TENTANG RAMADHAN DIBAGI TIGA
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (وفي رواية : ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
"Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan)
dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka".
(HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain
lewat jalur periwayatan Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu)
dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka".
(HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain
lewat jalur periwayatan Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu)
Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha'if Jâmi'is Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815
Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu :
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيّ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
،فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ
،شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا
،مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ
،وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ
وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ...وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
،فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ
،شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا
،مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ
،وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ
وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ...وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
"Dari Salmân al-Fârisi radhiyallâhu' anhu, dia mengatakan,
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya'bân.
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian,
bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban
dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah.
Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan,
maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain.
Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu,
maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib pada bulan yang lain.
Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga ....
Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan
dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka .....".
(HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain)
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya'bân.
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian,
bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban
dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah.
Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan,
maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain.
Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu,
maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib pada bulan yang lain.
Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga ....
Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan
dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka .....".
(HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain)
Sanad hadits ini dha'îf (lemah), karena ada seorang
perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'ân. Orang ini seorang perawi
yang lemah sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullâh, Yahya
rahimahullâh, Bukhâri rahimahullâh, Dâru Quthni rahimahullâh, Abu Hâtim
rahimahullâh dan lain-lain.
Ibnu Khuzaimah rahimahullâh sendiri mengatakan, "Aku
tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek." Imam Abu
Hatim rahimahullâh mengatakan, "Hadits ini mungkar."
Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah Wal Maudhû'ah, no. 871, at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I'tidâl, 3/127.
HADITS KEEMPAT,
TENTANG TIDUR DAN DIAMNYA ORANG YANG BERPUASA
TENTANG TIDUR DAN DIAMNYA ORANG YANG BERPUASA
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
"Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya".
(HR Tamâm)
(HR Tamâm)
Sanad hadits ini dha'if, karena dalam sanadnya
terdapat Yahya bin Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin
Muhammad bin Bakar bin Hilâl. Kedua orang ini tidak ditemukan keterangan
tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh wat Ta'dil (yaitu kitab-kitab
yang berisi keterangan tentang cela atau cacat ataupun pujian terhadap
para rawi). Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang
bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang
majhûl (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh
adz-Dzahabi rahimahullâh dalam kitab beliau rahimahullâh Mizânul
I'tidâl. Imam Uqaili rahimahullâh mengatakan, "Orang ini haditsnya
mungkar."
Ada juga hadits lain yang semakna dengan hadits
diatas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami rahimahullâh dalam
kitab Musnad Firdaus lewat jalur Anâs bin Mâlik radhiyallâhu' anhu
dengan lafazh :
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ نََائِمًا عَلَى فِرَاشِهِ
"Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah meskipun dia tidur di atas kasurnya".
Sanad hadits ini maudhû' (palsu), karena ada seorang
perawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk
pemalsu hadits, sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam
kitab ad-Dhu'afa.
Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah wal Maudhû'ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadîr, no. 5125
Ada juga hadits lain yang semakna :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
"Tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan tasbih,
amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipatganda, doa'nya mustajab dan dosanya diampuni".
(Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'abul Imân dan lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa)
amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipatganda, doa'nya mustajab dan dosanya diampuni".
(Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'abul Imân dan lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa)
Sanad hadits ini maudhû', karena dalam sanadnya
terdapat seorang perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha'i,
seorang pendusta. (Lihat, Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha'ifah,
no. 4696)
HADITS KELIMA,
TENTANG DO'A BUKA PUASA
TENTANG DO'A BUKA PUASA
:عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Dari Ibnu Abbâs radhiyallâhu' anhu, beliau
radhiyallâhu' anhu mengatakan, "Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa
sallam, apabila hendak berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam
mengucapkan : 'Wahai Allâh! Untuk-Mu kami berpuasa dan dengan rezeki
dari-Mu kami berbuka. Ya Allâh ! Terimalah amalan kami! Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'"
(Diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullâh dalam kitab Sunan beliau, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473 dan Thabrani t dalam kitab al-Mu’jamul Kabîr)
(Diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullâh dalam kitab Sunan beliau, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473 dan Thabrani t dalam kitab al-Mu’jamul Kabîr)
Sanad hadits ini sangat lemah (dha'îfun jiddan), karena :
Pertama : Ada seorang rawi yang bernama Abdul Mâlik bin Hârun bin 'Antarah. Orang ini adalah sseorang rawi yang sangat lemah.
- Imam Ahmad rahimahullâh mengatakan, "Abdul Mâlik itu dha'if."
- Imam Yahya rahimahullâh, "Dia seorang pendusta (kadzdzâb)."
- Ibnu Hibbân rahimahullâh mengatakan, "Dia seorang pemalsu hadits."
- Imam Sa'di mengatakan, "Dajjâl (pendusta)."
- Imam Dzahabi rahimahullâh, 'Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits."
- Ibnu Hatim mengatakan, "Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama)."
Kedua : Dalam sanad hadits ini terdapat juga orang
tua dari Abdul Mâlik yaitu Hârun bin 'Antarah. Dia ini seorang rawi yang
diperselisihkan oleh para Ulama ahli hadits. Imam Daru Quthni
rahimahullâh menilainya lemah, sedangkan Ibni Hibbân rahimahullâh telang
mengatakan, "Mungkarul hadîts (orang yang haditsnya diingkari), sama
sekali tidak boleh berhujjah dengannya."
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qayyim
rahimahullâh, Ibnu Hajar rahimahullâh, al Haitsami rahimahullâh dan
Syaikh al-Albâni rahimahullâh dan lain-lain. Silahkan para pembaca
melihat kitab-kitab ; Mizânul I'tidal (2/666), Majma'uz Zawâ'id (3/156
oleh Imam Haitsami rahimahullâh), Zâdul Ma'âd dalam kitab Shiyâm oleh
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dan Irwâ'ul Ghalîl (4/36-39 oleh Syaikh
al-Albâni rahimahullâh)
Hadits dhaif lainnya tentang do'a berbuka yaitu :
:عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Dari Anas radhiyallâhu' anhu, beliau radhiyallâhu' anhu mengatakan,
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan:
'Dengan nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka'".
"Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan:
'Dengan nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka'".
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani rahimahullâh dalam kitab al-Mu'jamus Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu'jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dha'îf), karena:
Pertama : Dalam sanad hadits ini
terdapat Ismail bin Amar al Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah.
Imam Dzahabi rahimahullâh mengatakan dalam kitab adh-Dhu'âfa, "Bukan
hanya satu orang saja yang melemahkannya."
Imam Ibnu 'Adi rahimahullâh mengatakan, "Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti."
Imam Ibnu Hâtim rahimahullâh mengatakan, "Orang ini lemah."
Kedua : Dalam sanadnya terdapat
Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh al-Albâni rahimahullâh mengatakan, "Orang
ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr al Bajali."
Sementara itu, Imam Abu Dâwud rahimahullâh, Abu
Zur'ah rahimahullâh dan Ibnu Hajar rahimahullâh memasukkan orang ini ke
golongan matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli
hadits).
Imam Ibnu 'Adi mengatakan, "Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti." (lihat, Mizânul I'tidâl, 2/7)
Hadits Thabrani rahimahullâh ini pernah dibawakan
oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan dalam risalah puasa, namun beliau tidak
mengomentari derajatnya.
Masih tentang do'a berbuka, ada hadits dha'if lainnya yang senada yaitu :
:عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Dari Mu'adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
apabila hendak berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan :
"Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka".
apabila hendak berbuka, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan :
"Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka".
Hadits ini dha'if l(lemah). Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu
Sunni. Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam
kalimat awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab) :
Pertama : Mursal[1], karena Mu'adz bin Zuhrah, seorang tabi'in bukan shahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Juga karena Mu'adz bin Zuhrah ini seorang
rawi yang majhûl, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain
Hushain bin Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullâh dalam
kitab beliau rahimahullâh Jarh Wa Ta'dil tidak menerangkan tentang
celaan maupun pujian untuknya.
Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah tentang do'a berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini :
:عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari Ibnu Umar radhiyallâhu' anhuma, adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam apabila berbuka puasa,
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan :
"Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insya Allâh".
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengucapkan :
"Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insya Allâh".
Hadits ini hasan riwayat Abu Dâwud, no. 2357;
Nasâ'i, 1/66; Daru Quthni, ia mengatakan, "Sanad hadits ini hasan."; al
Hâkim, 1/422 dan Baihaqi, 4/239. Syaikh al-Albâni rahimahullâh sepakat
dengan penilai Daru Quthni terhadap hadits ini.
Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang-orang
yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain
bin Wâqid. Dia seorang rawi yang tsiqah namun memiliki sedikit
kelemahan, sehingga tepatlah kalau sanad hadits ini dinilai hasan.
HADITS KEENAM,
TENTANG KEUTAMAAN I'TIKAF
TENTANG KEUTAMAAN I'TIKAF
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
"Barangsiapa yang beri'tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhân,
maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali".
maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali".
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullâh dalam
kitab beliau Syu'abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib radhiyallâhu'
anhuma. hadits ini Maudhû'.
Syaikh al-Albâni rahimahullâh dalam kitab beliau
Dha'if Jami'ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan ,"Maudhû.' Kemudian
beliau rahimahullâh menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam
kitab beliau rahimahullâh Silsilah ad-Dha'ifah, no. 518
Hadits dha'if lain yang hampir senada yaitu :
مَنِ اعْتَكَفَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang beri'tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala,
maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".
maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".
Hadits dha'if riwayat Dailami rahimahullâh dalam
Musnad Firdaus. Al-Munâwi rahimahullâh, dalam kitab beliau Faidhul
Qadîr, syarah Ja'mi' Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, "Dalam hadits
ini terdapat rawi yang tidak aku ketahui."
HADITS KETUJUH,
TENTANG BERANDAI-ANDAI RAMADHAN SEPANJANG TAHUN
TENTANG BERANDAI-ANDAI RAMADHAN SEPANJANG TAHUN
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا (فِي ) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةُ كٌلَّهَا
"Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada bulan Ramadhân,
niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun".
niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun".
Hadits ini maudhu'. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah
rahimahullâh, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al
Bajali, dari asy-Sya'bi dari Nâfi' bin Burdah, dari Abu Mas'ud
al-Ghifari- ia mengatakan, "Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah bersabda , "(lalu beliau
menyebutkan hadits diatas).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullâh membawakan hadits di
atas dalam kitab beliau rahimahullâh al-Maudhû'ât, 2/189 lewat jalur
periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari Sya'bi dari Nâfi' bin Burdah
dan Abdullah bin Mas'ud radhiyallâhu' anhu . kemudian beliau
rahimahullâh mengatakan, "Hadits ini maudhû' (palsu) dipalsukan atas
nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Orang yang tertuduh telah
memalsukan hadits ini adalah Jarîr bin Ayyûb.
Yahya rahimahullâh mengatakan, 'Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).'
Fadhl bin Dukain rahimahullâh mengatakan, 'Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.'
An-Nasa'i dan Daru Quthni rahimakumullah mengatakan, 'Matrûk (orang yang haditsnya tidak dianggap).'"
Imam Syaukani rahimahullâh dalam kitab al-Fawâ-idul
Majmû'ah Fil Ahâdîtsil Maudhû'ah, no. 254 mengomentari hadits diatas,
"Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la rahimahullâh lewat jalur
Abdullah bin Mas'ûd radhiyallâhu' anhu secara marfuu. Hadits ini maudhû
(palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya
merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits
palsu.'
HADITS KEDELAPAN,
TENTANG RAMADHAN BULAN TERBAIK BAGI KAUM MUSLIMIN
TENTANG RAMADHAN BULAN TERBAIK BAGI KAUM MUSLIMIN
مَا أَتَى عَلَى الْمُسْلِمِينَ شَهْرٌ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ رَمَضَانَ
وَلَا أَتَى عَلَى الْمُنَافِقِينَ شَهْرٌ شَرٌّ مِنْ رَمَضَانَ
وَلَا أَتَى عَلَى الْمُنَافِقِينَ شَهْرٌ شَرٌّ مِنْ رَمَضَانَ
"Tidak ada bulan yang datang kepada kaum Muslimin yang lebih baik daripada Ramadhân.
Dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan yang lebih buruk daripada bulan Ramadhân".
Dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan yang lebih buruk daripada bulan Ramadhân".
Hadits ini dha'if. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
rahimahullâh (2/330, Fathurrabbani, 9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no. 1884
dan lain-lainnya. Semua riwayat ini melalui jalur periwayatan Katsîr
bin Zaid rahimahullâh dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah
secara marfu'
Al-Haitsami rahimahullâh dalam kitabnya Majma'uz
Zawâid, 3/140-141 mengatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad
rahimahullâh dan Thabrani rahimahullâh dalam kitabnya al-Ausath dari
Tamîm dan aku tidak menemukan riwayat hidup Tamîm." Maksudnya Tamîm
(bapaknya Amr) seorang perawi yang majhûl.
Dalam kitab Mizânul I'tidâl, 3/249, adz Dzahabi
rahimahullâh mengatakan, "Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah
radhiyallâhu' anhu tentang keutamaan bulan Ramadhân. Dan dari Amr,
hadits ini diriwayatkan oleh Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim,
Imam Bukhâri rahimahullâh mengatakan, 'Haditsnya perlu diteliti (Fi
hadîtsihi nazhar)."
Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhâri dalam
mengkritik dan menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan tetapi
makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila Imam Bukhâri mengatakan,
"Fiihi nazhar atau fi haditsihi nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah
atau bahkan sangat lemah."
HADITS KESEMBILAN,
TENTANG MENGQADHA PUASA RAMADHAN
DENGAN CARA BERTURUT-TURUT
TENTANG MENGQADHA PUASA RAMADHAN
DENGAN CARA BERTURUT-TURUT
مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلاَ يَقْطَعْهُ
"Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân,
maka hendaknya dia mengqadha'nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)".
maka hendaknya dia mengqadha'nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)".
Hadits ini dha'if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru
Quthni rahimahullâh dalam sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam
sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh dari
'Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan),
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda : (seperti hadits
diatas).
Sanad hadits ini dha'if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha'if (lemah).
Ad-Daaru Quthni rahimahullâh mengatakan, "Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha'îful hadîts (orang yang haditsnya lemah)."
Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh dalam kitabnya
Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, "Ibnu Abil Hâtim
rahimahullâh telah menerangkan bahwa bapaknya yaitu Abu Hâtim telah
mengingkari hadits ini karena ada Abdurrahman."
Al-Baihaqi rahimahullâh mengatakan, "Dia
(Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma'in
rahimahullâh, Nasa'i rahimahullâh dan Daru Quthni rahimahullâh."
Adz-Dzahabi rahimahullâh dalam kitab Mizânul
I'tidâl, 2/545, "Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian
beliau rahimahullâh membawakan hadits di atas)
Ada juga hadits dha'if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha'if di atas yaitu :
: عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فِى قَضَاءِ رَمَضَانَ
إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ
إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ
"Dari Ibnu Umar radhiyallâhu' anhuma, beliau radhiyallâhu' anhuma mengatakan,
"Sesungguhnya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha' Ramadhân,
'Jika ia mau, dia bisa mengqadha'nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau,
dia juga bisa mengqadha'nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)".
"Sesungguhnya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha' Ramadhân,
'Jika ia mau, dia bisa mengqadha'nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau,
dia juga bisa mengqadha'nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)".
Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha'if
karena Sufyaan bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana
telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullâh, karena beliau
rahimahullâh tidak mendapatkan riwayat hidupnya. Kemudian syaikh
al-Albâni rahimahullâh mengatakan, "Ringkasnya, tidak ada satu pun
hadits marfu' yang sah yang menerangkan (mengqadha' shaum Ramadhân)
dengan selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih
dekat (kepada kebenaran) ialah boleh mengqadha' dengan cara keduanya,
sebagaimana pendapat Abu Hurairah radhiyallâhu' anhu. (Lihat Irwâ'ul
Ghalîl, 4/97)
Demikianlah beberapa contoh hadits dha'if bahkan
sebagiannya maudhu' yang banyak beredar dan sering diulang-ulang
penyampaiannya diatas mimbar pada bulan Ramadhân. Semoga naskah singkat
ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk tidak lagi menjadikan
hadits-hadits diatas sebagai hujjah dalam beramal. Cukuplah bagi kita
dengan mengikuti hadits-hadits shahih atau hadits-hadits yang layak
dijadikan sebagai hujjah.
Semoga Allâh Ta'âla senantiasa membimbing kita untuk
mengikuti Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan cara
mengamalkan hadits-hadits yang tsabit dari Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam.
[1] | Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan langsung dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam oleh tabi’in tanpa perantara Sahabat. |
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (04-05)/Tahun XIV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar