Aqiqah disyariatkan dalam Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Hushain. Namun para ulama
berselisih tentang hukumnya. Sebagian ada yang mewajibkan dan mayoritas
mereka mensunnahkannya.
Imam Ahmad berkata: Al aqiqah merupakan Sunnah dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah melakukan aqiqah untuk Al Hasan dan Al Hushain. Para sahabat
Beliau juga melakukannya. Dan dari Samurah, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهِنُ بِعَقِيْقَتِهِ
"Semua anak yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya" [HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa-i].
Sehingga tidak patut, jika seorang bapak tidak melakukan aqiqah untuk anaknya. [1]
Aqiqah disyariatkan pada orang tua sebagai wujud syukur kepada Allah dan
mendekatkan diri kepadaNya, serta berharap keselamatan dan barakah pada
anak yang lahir tersebut [2]. Waktu pelaksanaanya, disunnahkan pada
hari ketujuh. Jika tidak dapat, maka pada hari keempat belas. Bila
tidak, maka pada hari kedua puluh satu. Sebagaimana Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْاَهِنُ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
"Semua anak yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih
pada hari ketujuh". [HR Ibnu Majah, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 2563].[3]
العَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ أَوْ لأَرْبَعَ عَشَرَةَ أَوْ لإِحْدَ وَ عِشْرِيْنَ
"Aqiqah disembelih pada hari ketujuh atau empat belas atau dua puluh
satu". [HR Al Baihaqi, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’
Ash Shaghir, 4132].
Ada sebagian ulama, di antaranya Syaikh Shalih Fauzan yang berpendapat
bolehnya melakukan aqiqah selain waktu di atas tanpa batas. Namun,
mereka sepakat, bahwa yang utama pada hari ke tujuh. Sehingga,
berdasarkan pendapat ini, maka orang tua yang belum mampu pada
waktu-waktu tersebut dapat menundanya manakala sudah mampu.
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: Para ulama menyatakan, jika tidak
memungkinkan pada hari ketujuh, maka pada hari keempat belas. Jika tidak
mungkin juga, maka pada hari kedua puluh satu. Dan bila tidak mungkin
juga, maka kapan saja. inilah aqiqah. [4]
Sedangkan yang berkaitan dengan ketentuan jumlah kambingnya, untuk bayi
laki-laki dua kambing dan bayi wanita satu kambing. Ini berdasarkan
hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
mereka aqiqah untuk anak laki-laki dua kambing, dan anak perempuan satu
kambing". [HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Ketentuan kambingnya disini tidak dijelaskan jenisnya, harus jantan atau
boleh juga betina. Namun para ulama menyatakan, bahwa kambing aqiqah
sama dengan kambing kurban dalam usia, jenis dan bebas dari aib dan
cacat. Akan tetapi mereka tidak merinci tentang disyaratkan jantan atau
betina. Oleh karena itu, kata syah (شَاةٌ ) dalam hadits di atas,
menurut bahasa Arab dan istilah syari’at mencakup kambing atau domba,
baik jantan maupun betina. Tidak ada satu hadits atau atsar yang
mensyaratkan jantan dalam hewan kurban. Pengertian syah (شَاةٌ)
dikembalikan kepada pengertian syariat dan bahasa Arab.[5]
Dengan demikian, maka sah bila seseorang menyembelih kambing betina
dalam kurban dan aqiqah, walaupun yang utama dan dicontohkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah kambing jantan yang bertanduk.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar