Dalam memahami makna Darul Islam (negara Islam) terjadi perselisihan
di kalangan kelompok-kelompok yang ada sekarang. Maka kita memandang
perlu kiranya kita membawakan makna negara Islam yang benar dalam
kesempatan ini.
“Para ahli fiqih berselisih dalam kaitan hukum terhadap negara Islam yang mungkin dibawakan secara umum menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Patokan untuk menghukum sebuah negara adalah dengan realitas hukum yang berlaku di negeri itu.
Kedua: Patokan hukum terhadap sebuah negara adalah dipandang dari sisi keamanan. Keterangan dua pendapat ini sebagai berikut:
Pendapat pertama:
Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa patokan hukum terhadap sebuah
negara apakah dia negara Islam atau negara kufur adalah dengan realitas
hukum-hukum yang berlaku di negara itu. Dalam kitab Al Iqna’ (dan
syarhnya 3/43) didefenisikan tentang Darul Harb (negara kafir yang
diperangi) adalah: “Bila hukum kafir yang lebih dominan disitu”. Al
Kisani (dalam Bada’i'ush Shanai’ 7/ 130) berkata: ” Tidak ada
perselisiahan di kalangan para sahabat kami bahwa negara kufur akan
menjadi negara Islam dengan realitas hukum-hukum Islam yang berlaku
padanya”. Ibnul Qayyim (dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/366) berkata:
“Negara Islam adalah tempat yang ditempati kaum muslimin dan berlaku
hukum Islam padanya. Dan kalau tidak berlaku hukum Islam padanya,
bukanlah sebagai negara Islam walau berdekatan dengan negara Islam.”
Dan inilah pendapat jumhur ulama (Fatawa Hindiyyah 2/232, Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/ 366). Walau mereka berselisih dalam tafsir “hukum-hukum yang berlaku di negara tersebut” , apakah
sisi tindakan pemerintahnya atau rakyatnya, yakni syi’ar-syi’ar yang
dhahir seperti shalat dan yang sejenisnya. Ini menurut dua sisi dari
mereka dalam defenisinya:
Sisi pertama: yang dimaksud dengan berlakunya hukum-hukum tersebut adalah dari tindak tanduk pemerintahdalam kekuasaan politik,
jika kekuasaan politik dipegang oleh kaum muslimin, maka negara itu disebut dengan Darul Islam. Kalau tidak, maka sebaliknya. Dan
ini yang dipegangi oleh orang-orang Hanafi (Fatawa Hindiyyah 2/232).
As Sarkhasi berkata: “Yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah
negara adalah penguasa dan kekuatan untuk merealisasikan hukum-hukum
negara.” (Syarhus Siyar 5/1073) Ibnu Hazm menerangkan alasan ucapan ini
dengan: “Karena sebuah negara disandarkan kepada yang menang, yang
menjadi penguasa dan yang menjadi rajanya.” (Al Muhalla 11/200,2198)
Dan dengan inilah seluruh ulama yang hidup sekarang memberi fatwa, di
antaranya: Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Al Fatawa 6/ 166) , Syaikh
Abdurrahman As Sa’di (Fatawa As Sa’diyyah hal.98) dan Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha (Fatawa Muhammad Rasyid Ridha 5/1918). Dan konsekwensi
pendapat ini adalah:
mungkin negara itu adalah negara Islam walau semua
penduduknya orang kafir selama penguasanya masih orang Islam dan
menghukum dengan hukum Islam.
Sisi kedua:
Yang dilihat adalah patokan hukum terhadap negara adalah amalan penduduknya -syi’ar-syi’ar yang tampak disitu- maka
jika hukum-hukum Islam seperti shalat tampak dengan jelas, maka negara
itu disebut dengan negara Islam, kalau tidak, maka disebut dengan negara
kafir. Dengan ini sebagian orang mazhab Hanafi menafsirkan hukum dengan ucapannya: Darul
harb (negara chaff yang harus dioperangi) akan menjadi negara Islam
dengan berlakunya hukum kaum muslimin disitu, seperti mendirikan shalat
Jum’at dan Ied-ied, walau orang kafir asli ada disitu. ” (Ad
Duraarul Hikam 1/259) Sebagian para ahli fiqih berkata:” Darul Islam
adalah yang tampak padanya dua kalimat syahadat dan shalat serta tidak
tampak padanya bagian kekafiran… kecuali dengan perlindungan atau Ahli
dzimmah dan keamanan dari kaum muslimin. Dan darul harb adalah yang
kekuasaannya dipegang oleh orang kafir dan kaum muslimin tidak
mendapatkan perlindungan.” (Uyunul Azhar hal.228)
Dan yang tampak dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah sesuai dengan pendapat ini yang mana beliau berkata: “Keadaan
negara itu disebut dengan negara kufur, iman atau negara orang-orang
fasiq bukanlah suatu sifat yang tetap melekat padanya. Tapi itu hanya
sifat yang mendatang tergantung penduduknya. Maka setiap negara yang
dihuni oleh kaum mukminin yang bertaqwa adalah negara para wali Allah
pada waktu itu. Dan setiap negara yang dihuni oleh orang-orang kafir,
maka dia adalah negeri kafir pada waktu itu. Dan setiap negeri yang
dihuni oleh orang-orang fasiq, maka dia adalah negara orang fasiq pada
waktu itu. Kalau penghuninya selain dari yang kita sebutkan tadi dengan
berubah kepada yang lain, maka itu negeri mereka’(Majmu’ Fatawa 18/282)
Pendapat kedua:
sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa kaitan
hukum terhadap sebuah negara adalah faktor keamanan. Jika kaum muslimin
aman di sebuah negeri, maka negeri itu adalah negeri Islam. Kalau tidak
aman, maka negeri itu adalah negeri kafir. As Sarkhasi berkata: “Sesungguhnya
negara Islam adalah nama untuk sebuah tempat yang berada di bawah
kekuasaan kaum muslimin, tandanya adalah dengan amannya kaum muslimin.”Syarhus Siyar 3/81)
Kesimpulan:
Pendapat yang kuat-wallahu a’lam- adalah: ” Sesungguhnya patokan
penilaian syari’at Islam terhadap sebuah negara adalah realitas hukum
yang berlaku di negara itu, karena hukum-hukum itulah yang membedakan
antara negeri Islam atau kafir. Islam dan kekufuran masing-masingnya
mempunyai cabang, yang masingmasing cabang itu mempunyai hukum
tersendiri, maka apabila berkumpul dalam sebuah negeri kadar tertentu
dari cabangcabang Islam dan hukum-hukumnya, maka negeri itu adalah
negeri Islam. Dan kalau tidak, maka tidak. Adapun kemanan, itu adalah
faktor yang bersifat mendatang sebagai hasil dari hukum yang berlaku,
maka dia adalah sifat yang tidak mempengaruhi penilaian terhadap sebuah
negara (yakni penilaian apakah negara islam atau tidak).
Hukum-hukum ini adalah kumpulan dari kondisi rakyat dan penguasa,
maka tidak boleh dihukumi sebuah negara sebagai negara Islam atau negara
kufur kecuali setelah melihat dua faktor (kondisi rakyat dan pengausa)
ini. Bersamaan dengan itu juga mengikut sertakan kaidah-kaidah sebagai
berikut:
a.Ketika dikatakan bahwa patokan penilaian terhadap sebuah negara
(apaakah negara Islam atau negara kufur) adalah realitas hukum Islam
yang berlaku, maka bukannya yang dimaksudkan disini iaalah penerapan
seluruh hukum Islam tersebut. Karena ini adalah hal yang jarang terjadi
dalam sejarah kaum muslimin kecuali di masa Nabi dan para khulafa’ur
rasyidin (khalifah-khalifah yang terbimbing). Kemudian secara perlahan
hukum itu gugur satu demi satu. Maka tidak ada di suatu negeri atau masa
kecuali hukum Islam selalu ada yang gugur.
b.Hukum-hukum yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara
(apakah dia negaraa islam atau tidak) berbedabeda tingkatannya. yang
paling agung di antaara hukum yang dijadikan penilaian itu adalah
shalat. dan memang shalat patokan yang paling agung dalam menilai
kondisi penguasa, khususnya dalam menilai sebuah negara.
Ini dinyaatakan dalam beberaapa hadits:
a. Dari Abu Umamah Al Bahili bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ” Akan lepas tali Islam seutas demi seutas, maka setiap
kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali
terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” (HR Ahmad
5251)
b.Hadits-hadits yang menyebutkan kebolehan untuk memberontak kepada
para pengauasa adalah karena mereka meninggalkan shalat, karena dia
(shalat) adalah batas akhir yang menyatakan seseorang itu sebagai
muslim.
Dan juga bila tidak ada didengar suara adzan atau tidak didapati
mesjid, maka itu menjadi tanda bahwa negeri itu adalah negeri kufur. Dan
bila didengar adzan dan ditemui mesjid dan menjadi lambang negeri itu,
maka negeri itu adalah negeri Islam.
Ini dikuatkan dengan beberapa hadits:
Pertama: Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah biasa
menyerang musuh di waktu fajar akan terbit sambil mendengarkan dengan
seksama suara adzan. Bila beliau mendengar adzan, beliau tidak
menyerangnya dan bila tidak mendengarnya beliau menyerangnya.” (HR
Muslim 1/288)
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan
bahwa suara adzan bisa menahan serangan kepada para penduduknya, karena
itu tanda kelslaman mereka.” (Syarh Muslim 4/84)
Kedua: Dari Isham Al Muzani, ia berkata: Rasulullah bila
mengirim pasukan mengatakan: Bila kalian melihat mesjid atau mendengar
adzan jangan membunuh seorangpun.” (HRAbu Daud no.2635 dan Turmudzi no.
1549 Hadits ini di dha’ifkan Syaikh Al albani dalam dha’if sunan Abu
Daud no.565)
Imam Syaukani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil….dibolehkannya
berhukum dengan tanda dengan alasan bahwa nabi menyuruh untuk tidak
menyerang hanya karena mendengar suara adzan.” (Nailul Authar 7/278)
Dan beliau berkata lagi: “Dalam hadits ini mengandung perintah untuk
mengambil yang paling selamat dalam masalah darah, karena beliau menahan
mereka untuk menyerang ha dalam keadaan itu walau sebenarnya mungkin
saja mereka tidak demikian.” (Nailul Authar 7/278)
Dan beliau berkata juga: “Dan dalam hadits ini ada dalil bahwa semata
mendapati mesjid dalam sebuah negeri bisa dijadikan alasan untuk
membatalkan penyerangan. Dan bisa menjadi tanda kelslaman penduduknya
walau tidak ada didengar adzan disitu.
Karena Nabi memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dengan sebab
dua hal: adanya mesjid dan suara adzan.” (Nailul Authar 7/278)
Disini ada dua titik perhatian:
pertama: Berdalil dengan dua hadits ini bisa saja dibantah
dengan: Tujuan hadits ini hanya untuk menerangkan tentang larangan
menyerang sebuah negeri, bukan menerangkan tentang sifat negeri itu. Maka jawabannya: Hukum
yang yang membuat negeri itu dilarang untuk diserang, adalah karena
sifat negeri itu sendiri. Karena hukum yang membolehkan untuk menyerang
penduduk negeri itu adalah karena negerinya negeri kufur. Imam Syafi’i
berkata: “Hukum terhadap sebuah negeri adalah unsur yang membuat dia
tidak boleh diserang.” (Ar Risalah hal. 300)
Kedua: Ini juga bisa dibantah dengan Banyak negeri kufur yang ada mesjid disitu dan didengar adzan. Jawaban untuk itu adalah: Yang
dimaksudkan adalah kalau mesjid dan adzan menjadi lambang negara itu.
Rasulullah melarang untuk menyerang karena mendengar suara adzan adalah
berdasarkan karena beliau bergaul dengan kampung-kampung arab yang
semata mendengar suara adzan sudah cukup untuk menjadi tanda bahwa
penduduknya Islam, karena kecilnya kampung dan sedikitnya penduduk.
Maka berarti masalah ini adalah masalah yang nisbi, kadang-kadang satu
mesjid menjadi lambang kelslaman penduduknya. Dan kadang-kadang sepuluh
mesjid tidak menjadi lambang kelslaman penduduknya.
Misal yang memperjelas adalah:
Prancis, disana dibangun mesjid, akan tetapi bukan sebagai lambang negara, maka negara itu adalah negara kufur.
Kaum muslimin di Maroko menegakkan syi’ar-syi’ar Islam dan menjadi lambang negaranya, maka negara itu adalah negara Islam.
Dengan ini menjadi jelas bahwa darul Islam adalah negeri
yang hukum-hukum Islam direalisasikan disitu, khususnya shalat. Dan
darul Kufr adalah: negeri yang disitu tidak diterapkan padanya lepas
hukum-hukum Islam, khususnya shalat
Dan bukan yang dimaksudkan dengan mendirikan shalat adalah hanya
dilakukan segelintir orang, tetapi menjadi amalan penguasa., Nabi
berkata: “Tidak boleh memerangi mereka (para pemimpjin), selama mereka masih mendirikan shalat bersama kalian” dan ” Tidak, selama mereka masih shalat.” Ini
adalah lafaz-lafaz yang walau dalam masalah khawarij, tapi ada hubungan
antara masalah ini dengan masalah sifat negara. Yang mana adanya shalat
dalam dua keadaan ini menyebabkan negara itu tidak boleh diserang.” (Al
Ghuluw fid Diin, Abdurrahman bin Mu’allah Al Luwaihiq hal.330-335) Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar