Kumpulan Kisah Kehidupan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Sabar dalam
Berdakwah Asy-Syaikh Hamad bin ‘Abdillah Al-Jutaili berkata: Saya
mempunyai beberapa kenangan tentang Asy-Syaikh Al-Utsaimin, yaitu selama
saya belajar kepada beliau selama 30 tahun di Al-Jami’ Al-Kabir,
Unaizah. Yaitu tentang kesabaran beliau, dimana pada
awal perjalanan mengajar beliau hanya ada saya dan beberapa pelajar
lain, namun beliau senantiasa bersabar sampai akhirnya kajian beliau
berkembang dan diikuti oleh ribuan pelajar. (Safahat Mushriqah min Hayat
Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 80)
Diingatkan oleh
Muridnya Dikisahkan, pada sebuah khutbah Jum’at, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan surat Al-Fatihah sebelum
tidur dan menganjurkan setiap orang untuk membacanya. Setelah selesai
khutbah, salah seorang pelajar mengingatkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin,
“Wahai Syaikh, yang anda maksud mungkin tadi keutamaan ayat Kursi.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian menyadari bahwa dirinya secara tidak
sengaja telah melakukan kesalahan. Maka beliau pun segera meralat
kesalahannya sebelum para jamaah pergi, mengingatkan mereka bahwa beliau
telah berbuat salah dan yang benar adalah keutamaan membaca ayat Kursi
sebelum tidur. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, hal. 43)
Menuntut Ilmu Sejak Anak-anak Asy-Syaikh ‘Ashim
bin ‘Abdil Mun’im Al-Mari menceritakan: Sifat yang paling menonjol dari
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah ketekunan beliau dalam menuntut ilmu.
Beberapa saudara Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Mani’ rahimahullah,
Qadhi Unaizah pada tahun 1360 H (1936) menyebutkan bahwa Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin selalu datang pagi-pagi ke rumah Asy-Syaikh Abdullah bin
Muhammad sambil membawa kertas dan buku. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
kemudian mengetuk pintu, mengucapkan salam dan meminta ijin untuk masuk
ke perpustakaan. Beliau biasa ada di perpustakaan itu sampai menjelang
Dzuhur. Ini dilakukan ketika beliau masih anak-anak (belum mencapai usia
baligh). (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin
‘Utsaimin, hal. 24) “Istirahat adalah dengan tetap memberikan
pelayanan kepada umat” Asy-Syaikh Badr bin Nadhir Al-Masyari
menceritakan: Meskipun dalam keadaan kesehatannya kurang baik,
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap bersemangat untuk memberikan khutbah
Jum’at di Al-Jami’ Al-Kabir, memimpin doa, dan menemui tamu-tamu untuk
menjawab pertanyaan ataupun memberikan penjelasan. Semua ini memang
kemauan dari beliau sendiri, dimana pada suatu hari dikatakan kepada
beliau, “Wahai Syaikh, beristirahatlah.” Maka beliau menjawab,
“Istirahat adalah dengan tetap memberikan pelayanan kepada umat.”
(Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin
‘Utsaimin, hal. 296)
Prihatin dengan Krisis yang Terjadi pada Umat
Asy-Syaikh Badr bin Nadhir Al-Masyaari menceritakan: Salah seorang murid
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bercerita kepada saya bahwa beliau pernah
mengalami tidur dalam waktu sedikit ketika krisis yang besar melanda
umat, khususnya pada saat Perang Teluk dan tragedi pembantaian muslimi
di Bosnia dan Chechnya. Waktu itu beliau sering berdoa di waktu malam
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi kemenangan bagi kaum
muslimin dalam melawan musuh-musuhnya, menguatkan Islam, dan
menghancurkan musuh-musuh Islam. Beliau pun berdoa untuk keselamatan
kaum muslimin secara keseluruhan dan memberi mereka dorongan agar tetap
teguh dalam menghadapi berbagai kesulitan menghadapi musuh-musuh Isam.
(Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin
‘Utsaimin, hal. 300)
Menghapal Al-Qur’an dalam Waktu Enam Bulan
Asy-Syaikh Ibrahim bin Hamad Al-Jutaili, seseorang yang telah mengenal
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selama 45 tahun dan telah belajar kepada beliau
selama 20 tahun bercerita: Beliau mampu menghapal Al-Qur’an dalam waktu 6
bulan di bawah bimbingan gurunya Asy-Syaikh Ali bin Abdullah
Asy-Syuhaitan. (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah
Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 23) Catatan: Berdasar cerita ini maka
menjadi jelas bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tidak menghapal Al-Qur’an di
bawah bimbingan kakeknya, Abdurrahman bin Sulaiman Al-Damigh,
sebagaimana yang banyak diketahui. Kepada kakeknya itu beliau semata
hanya belajar membaca Al-Qur’an, sementara untuk menghapalnya beliau
dibimbing oleh Asy-Syaikh Asy-Syuhaitan.
Tetap Shalat Malam Meski
Kelelahan Muhammad bin ‘Abdil Jawwad As-Sawi mengisahkan: Suatu ketika
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin diundang oleh suatu lembaga amal di Jeddah.
Acara yang beliau hadiri itu ternyata sangat panjang, sampai mendekati
jam satu malam dimana kebiasaan beliau adalah beristirahat pada waktu
demikian. Terlihat sekali beliau mengalami kelelahan dan mengantuk. Kami
akhirnya pulang dan mengantar Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke rumah,
sementara kami sudah tidak bisa lagi menahan kantuk. Ketika hari masih
malam, yaitu sekitar jam 03.30, setelah kami tertidur selama kurang
lebih dua jam, saya mendengar suara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin yang sedang
sholat dalam keadaan beliau baru saja kelelahan dan kurang tidur, namun
beliau tetap menyempatkan untuk melakukan shalat malam. (Safahat
Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 73)
Tidak Kenal dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin Abdullah bin ‘Ali
Al-Matawwu’ menceritakan bahwa ia pernah menemani perjalanan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin dari Unaizah menuju Al-Bada’i yang jaraknya sekitar 15 km
untuk memenuhi undangan acara makan siang. Setelah acara selesai, dalam
perjalanan pulang rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjumpai seorang
laki-laki yang memiliki jenggot berwarna merah dan dengan pandangan
bersahabat ia melambaikan tangan ke mobil kami. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
berkata, “Pelan-pelan, kita akan ajak dia bersama kita.” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian berkata, “Hendak pergi kemana anda?” Laki-laki itu
menjawab, “Bolehkah saya menumpang sampai ke Unaizah?” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Boleh, tapi dengan dua syarat, pertama anda tidak
boleh merokok dan kedua anda harus selalu mengingat Allah.” Ia
menjawab, “Saya adalah laki-laki yang tidak merokok. Saya tadinya
menumpang kepada seorang laki-laki yang merokok, maka saya minta turun
di sini. Sedangkan untuk mengingat Allah, maka tidaklah ada seorang
muslim pun kecuali ia pasti mengingat Allah.” Maka laki-laki itu pun
masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan laki-laki tersebut sama sekali
tidak menyadari bahwa dirinya sedang bersama rombongan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. Ketika sampai di Unaizah, laki-laki itu berkata, “Tolong
tunjukkan saya di mana rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, saya memiliki
beberapa permasalahan yang ingin saya tanyakan pada beliau.” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Mengapa anda tidak bertanya kepada beliau saat
di Bada’i?” Ia menjawab, “Saya tidak bertemu dengan beliau.” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Saya melihat anda berbicara dan memberi salam
kepada beliau.” Laki-laki itu berkata, “Anda pasti bercanda.” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin tersenyum dan berkata, “Kerjakanlah shalat Ashar di masjid
jami’ Unaizah, maka anda akan bertemu dengannya.” Orang itu berlalu
tanpa mengetahui bahwa ia baru saja berbicara dengan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. Usai shalat Ashar, laki-laki itu melihat seorang Syaikh
di arah depan usai mengimami shalat. Laki-laki itu bertanya tentang
Asy-Syaikh tersebut dan diberi tahu bahwa beliau adalah Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. Maka laki-laki itupun mendekati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
dan meminta maaf karena tidak mengenali beliau sebelumnya. Kemudian ia
mengajukan beberapa pertanyaan dan Asy-Syaikh pun menjawabnya. Laki-laki
itu sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, hal. 38)
Tahukah kamu siapa Asy-Syaikh itu?” Ketika
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat menuju
hotel, beliau menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain sepak bola
dalam keadaan mereka belum sholat. Maka beliau pun menghentikan
permainan sepak bola itu, memberi nasehat kepada mereka, dan
mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan mereka tidak tahu siapa
beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk meneruskan
permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka mendekati
beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan,
“Engkau sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.” Waktu
itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka
mendorong anak muda itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut
bersama beliau. Maka ia pun ikut bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke
hotel. Beberapa saat kemudian beliau meninggalkan ruangan untuk suatu
keperluan. Para pelajar yang bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya
kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh itu?” Ia menjawab, “Saya
tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.”
Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah. Ketika
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium
kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi
anak muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, hal. 41)
“…saya akan keluar untuk mendorong.”
Suatu ketika Asy-Syaikh Al-Utsaimin naik sebuah mobil tua milik salah
seorang temannya yang mudah mogok. Dalam perjalanan mobil itupun mogok
dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata kepada sopir mobil, “Tinggallah kamu
di tempatmu, saya akan keluar untuk mendorong.” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin keluar dari mobil dan mendorong seorang diri sampai mobil
itu berjalan lagi. Kejadian ini merupakan gambaran betapa beliau
rahimahullah sangat rendah hati. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 42)
“Subhanallah, beliau yang
sudah tua lebih memilih berdiri untuk shalat.” Seorang murid Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin asal Kuwait yang telah belajar selama lima tahun dan
dikenal sebagai murid yang sangat rajin menceritakan: Saya pernah
menemani Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam perjalanan dari Unaizah menuju
Riyadh dan kemudian dilanjutkan ke Mekkah untuk umrah. Usai menunaikan
umrah, semua anggota rombongan minta ijin kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
untuk istirahat karena kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang
yang dilanjutkan dengan umrah pada hari yang sama. Salah seorang
anggota rombongan bernama Asy-Syaikh Hamad menceritakan bahwa dirinya
terbangun di tengah malam dan mendapati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang
shalat. Ia berkata, “Subhanallah, saya yang masih muda memilih tidur
sementara beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk sholat.”
Maka ia pun bangkit untuk mengambil wudhu dan ikut shalat bersama
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Dia berusaha keras untuk melawan rasa
kantuknya, namun akhirnya ia tidak bisa bertahan dan pergi tidur
meninggalkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin shalat sendirian. (Al-Jami’
li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 39)
“Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin…!” Seorang anggota Pusat Dakwah dan Bimbingan kota Jeddah
menuturkan bahwa selama musim haji tahun 1416 H, dia mendampingi
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melakukan dakwah kepada para jamaah haji di
Bandara King Abdul Aziz. Serombongan jamaah haji dari Rusia datang dan
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bermaksud hendak memberikan beberap patah kata
pada mereka (berdakwah). Beliau menjelaskan bahwa nanti akan ada
penerjemah yang akan menyampaikan perkataan beliau. Pimpinan jamaah haji
itu mengatur anggotanya (untuk mendengarkan ceramah) tanpa ia
mengetahui bahwa yang berceramah adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Setelah ceramah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selesai, pimpinan rombongan
bertanya siapa orang yang baru berceramah tadi. Dia diberi tahu bahwa
beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Seketika ia berlari menuju
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan mencium kening beliau sambil menangis. Dia
kemudian mengambil mikrofon dan mengumumkan bahwa orang yang baru saja
berceramah adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Mendengar pengumuman itu para
jamaah haji itu pun terkejut dan banyak yang histeris (karena sangat
bahagia). Dalam keadaan itu kepala rombongan terus-menerus berseru,
“Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin…!” Para jamaah haji itu mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin,
memberi salam dan mencium kening beliau. Kepala rombongan berkata, “Ini
adalah murid-murid anda wahai Syaikh. Mereka dulu mempelajari buku-buku
anda di tempat persembunyian di bawah tanah ketika masa pemerintahan
komunis.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, hal. 38)
“Kembalikan mobil itu kepada Pangeran…” Abdullah
bin Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (putra beliau) berkisah: Suatu
ketika Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur Qashim,
memberi hadiah kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru. Ketika
pulang ke rumah, beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah dan
beliau pun diberi tahu tentang mobil itu. Mobil itu tetap di luar rumah
sampai lima hari tanpa dipakai oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Beliau
akhirnya berkata kepada putranya, Abdullah, “Kembalikan mobil itu kepada
Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Beritahu dia
bahwa saya tidak membutuhkannya.” Maka mobil itupun dikembalikan kepada
Pangeran Abdullah, sementara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap mengendarai
mobilnya yang sudah tua dan murah. Sampai meninggal beliau masih tetap
memiliki mobil yang sama. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, hal. 23)
“Sekarang ijinkan mereka pulang kepada
keluarganya!” Ihsan bin Muhammad Al-’Utaibi menceritakan: Beberapa
pemuda dari Yordania melakukan perjalanan dengan mobil untuk melakukan
umroh. Sesampai di Khaibar mereka mengalami kecelakaan, yaitu mobil
mereka menabrak lampu jalan. Polisi pun datang dan meminta kepada sopir
untuk membayar ganti rugi kerusakan sebesar 21.000 Riyal (sekitar 3.500
Pound Sterling). Baik sopir maupun para pemuda itu tidak mampu membayar
denda sebesar itu. Maka polisi pun menyita paspor milik sopir sampai dia
mampu membayar denda sepulang dari umrah. Beberapa pelajar yang
mengetahui kasus ini berinisiatif membantu mencari dana. Mereka berpikir
jalan terbaik adalah dengan menyampaikan permasalahan ini kepada ulama.
Maka salah seorang dari mereka mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di
ruang beliau di Masjidil Haram, Mekkah, usai shalat Ashar. Setelah
diberi tahu permasalahan yang terjadi, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata,
“Datanglah besok, insya Allah semua akan beres.” Namun para pelajar
tidak datang pada keesokkan harinya karena mereka berpikir bahwa jumlah
uang yang dibutuhkan sangat besar. Disamping itu, menurut pikiran
mereka, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin juga tidak kenal dengan mereka. Maka
pelajar itu kembali ke pemuda dari Yordania yang mengalami kecelakaan
dan menyatakan bahwa mereka telah berusaha membantu, setidaknya telah
menyampaikan hal ini kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Para pemuda itu
berencana pulang ke Yordania namun mereka harus melewati pemeriksaan di
Khaibar yang akan memeriksa paspor sopir. Mereka mengharap kemurahan
hati petugas imigrasi (pemeriksa paspor) dan mereka mau melupakan
kewajiban mereka untuk membayar denda. Ketika mereka datang ke kantor,
kepala kantor meminta mereka membayar penuh denda tersebut dan mereka
tidak boleh pergi (sebelum membayar denda). Mereka boleh pergi tetapi
tidak boleh bersama sopirnya. Para pemuda dan sopir menjadi khawatir.
Apa yang harus mereka lakukan kini? Mereka kemudian mendatangi pelajar
yang telah menemui Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan berkata, “Mengapa anda
tidak mendatangi beliau lagi? Apa yang beliau katakan?” Dia menjawab,
“Beliau berkata: datanglah lagi besok.” Mereka bertanya, “Apakah engkau
datang keesokan harinya?” Dia menjawab, “Tidak.” Mereka berkata,
“Hubungi beliau lagi, semoga Allah memberi jalan kepada kami melalui
beliau. Saat ini kami berada di tempat yang jauh dari keluarga di
hari-hari terakhir bulan Ramadhan.” Pelajar itu pun kembali mendatangi
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Pemuda itu kembali menerangkan permasalahan
yang terjadi. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Apakah engkau berasal
dari Yordania?” Ia menjawab, “Ya, wahai Syaikh.” Asy-Syaikh berkata,
“Bukankah waktu itu saya sudah meminta engkau untuk datang esok harinya,
tapi mengapa engkau tidak datang?” Ia menjawab, “Saya merasa malu,
wahai Syaikh.” Maka Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Sekarang mengapa
engkau datang lagi? …di beberapa kejadian, jumlah uang yang kita
butuhkan bisa terkumpul dalam satu hari.” Pelajar itu hampir tidak
percaya mendengar hal itu. Ia merasa senang karena memiliki harapan
baru. Ia berkata, “Sekarang apa yang harus kami kerjakan, wahai Syaikh?”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya akan mentransfer uang ke bagian
imigrasi dan mencoba meminta mereka agar memudahkah urusan kalian dan
agar mereka mengijinkan kalian pulang ke keluarga kalian sebelum hari
Raya Idul Fitri.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berbicara kepada
kepala imigrasi, “Saya telah mengumpulkan uang (untuk membayar denda),
beritahu saya nomor rekening anda supaya saya bisa mentransfernya.
Kemudian ijinkan para pemuda dan sopirnya pulang ke keluarganya.”
Kepala imigrasi menjawab dengan nada tidak sopan, “Maaf Syaikh, kami
minta supaya uang itu dalam bentuk cash, sehingga kami pun belum bisa
mengijinkan mereka pergi.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjadi marah
mendengar jawaban itu. Beliau berkata, “Saya katakan kepada anda, saya
telah memiliki uang itu. Sekarang ijinkan mereka pulang kepada
keluarganya.” Namun kepala imigrasi itu tetap menolak. Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian meletakkan gagang telepon. Beberapa saat kemudian
keadaan kantor imigrasi itu menjadi terbalik. Gubernur Madinah,
Pangeran Abdul Majid, menelepon untuk menanyakan kepala imigrasi yang
telah menolak permintaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Gubernur kemudian
menjatuhi hukuman kepada kepala imigrasi karena telah bertindak tidak
disiplin. Dalam keadaan ini, para pegawai di kantor itu mencoba memberi
pembelaan kepada kepala imigrasi. Para pemuda yang masih di kantor
imigrasi merasakan adanya perubahan nada bicara yang terjadi pada para
pegawai, dari tidak ramah menjadi sangat ramah. Gubernur telah
memerintahkan mereka untuk mengijinkan para pemuda itu dan sopirnya
pergi dan biaya perbaikan lampu akan ditanggung negara. Tidak bisa
digambarkan betapa gembiranya para pemuda itu. Mereka mengucapkan terima
kasih kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin atas bantuan dan pembelaannya.
Mereka juga mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Madinah yang
memiliki rasa hormat kepada ulama dan menghargai posisi mereka.”
(Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.
75)
“…siapa yang akan duluan?” Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin
mengisahkan: Ketika kami sedang merekam siaran khusus kajian dari radio
(Nur ‘alad Darb) di rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, kami mendengar suara
berisik dari orang yang sedang bekerja di dekat rumah beliau (tetangga).
Sepertinya mereka sedang memperbaiki sesuatu, dimana suara yang mereka
timbulkan mengganggu proses rekaman. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian
mendatangi mereka untuk memberi tahu rekaman yang sedang dilakukan dan
meminta mereka berhenti sebentar. Namun ketika beliau kembali dan kami
siap merekam, beliau memandang ke sekeliling dan berkata, “Ya Abdul
Karim, siapa yang akan duluan?” Aku menjawab, “Mereka saja, ya Syaikh.”
Maka Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kembali menemui merekam. Dengan penuh
keramahan dan khawatir melanggar hak mereka, beliau berkata, “Kami akan
menunda rekaman kami beberapa waktu sampai kalian menyelesaikan
pekerjaannya.” (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 55)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
tidak suka penghormatan… Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan:
Telah diketahui oleh banyak orang bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah
orang yang tidak senang dengan penghormatan, termasuk gelar atau jabatan
tinggi. Beliau adalah anggota Lembaga Ulama Senior (Kibarul Ulama),
namun beliau meminta saya agar tidak menyebutkan hal ini saat saya
mengenalkan beliau dalam acara kajian di radio (Nur ‘alad Darb). Beliau
minta saya cukup menyebutkan beliau sebagai imam dan khatib Masjid
Al-Jami’ Al-Kabir, Unaizah dan guru di Fakultas Syariah dan Ushuluddin,
Qashim. Maka saya pun memenuhi permintaan beliau sejak saya memandu
acara ini sampai beliau meninggal dunia. Beberapa orang yang senang
kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Ya Syaikh Khalid, mengapa anda
tidak menyebutkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebagai anggota Lembaga Ulama
Senior?” Saya menjawab bahwa ini adalah permintaan dari beliau sendiri.
(Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin, hal. 34)
Kalimat Mulia dari Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Badar ibn Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Ketika baru pulang dari Amerika sehabis berobat, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
ditanya tentang kesehatan beliau. Maka beliau menjawab dengan sebuah
kalimat mulia, “Ketahuilah, sesungguhnya sehat dan sakit itu tidak akan
terjadi lebih lama atau pun mendahului dari waktu yang ditentukan. Hidup
saya dan anda telah ditulis sebelum Allah menciptakan surga dan neraka.
Maka yakinilah hal ini, sebagaimana saya pun meyakininya.” (Safahat
Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 111)
“Anda Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz?!” Ihsan ibn Muhammad Al-’Utaibi
mengisahkan: Sehabis shalat di Masjidil Haram, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
ingin pergi ke suatu tempat. Maka beliau memanggil taksi dan pergi
dengannya. Dalam perjalanan, sopir taksi ingin mengetahui siapa gerangan
yang menjadi penumpangnya itu. Ia bertanya, “Siapakah anda wahai
Syaikh?” Beliau menjawab, “Muhammad bin Utsaimin.” Sopir taksi itu
terkejut, “Asy-Syaikh Al-’Utsaimin?” Ia menganggap beliau berbohong
karena tidak percaya ada seorang Syaikh mau naik taksi. Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin menjawab, “Ya, benar.” Sopir taksi memutar kepalanya untuk
melihat wajah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian
bertanya, “Lantas anda ini siapa, wahai saudaraku?” Ia menjawab, “Saya
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz!” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pun tersenyum
mengulang pertanyaannya, “Anda Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz?” Sopir
itu menjawab, “Ya, karena anda telah menyebut diri anda Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin!” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Tapi Asy-Syaikh Abdul
‘Aziz bin Baz buta dan tidak bisa menyetir mobil.” Sopir taksi itu
akhirnya menyadari bahwa penumpang yang ada di belakangnya adalah
benar-benar Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. (Safahat Mushriqah min Hayat
Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 79)
Mengajar Sambil
Diperiksa Kesehatannya Muhammad Rabi’ Sulaiman menceritakan: Tahun 1420
H terjadi sebuah peristiwa yang dikenang, yaitu pada bulan Ramadhan
ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang memberikan kajian rutinnya di
Masjidil Haram, Mekkah. Seorang dokter spesialis yang merawat beliau
menasehati bahwa tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin perlu istirahat secara
rutin tiap sore dan tidak boleh mengajar setelah shalat Tarawih. Dokter
itu ingin memberikan transfusi darah dan beberapa pemeriksaan medis
lain, namun Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjawab, “Kerjakan apa yang harus
anda kerjakan sementara saya tetap mengajar.” Maka sambil memberikan
kajian, dokter itu memasukkan jarum ke tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
untuk melakukan transfusi darah, beberapa pemeriksaan kesehatan,
mengecek suhu badan, dan denyut jantung. Demikianlah, betapa tingginya
keinginan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk menyebarkan ilmu dan mengajari
manusia. Hal ini dilakukan sampai malam terakhir bulan Ramadhan sebelum
beliau pergi dari Masjadil Haram. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 24)
“Lalu untuk saya mana?” Abu
Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan: Saat sedang berada di studio
rekaman untuk acara radio “Pertanyaan lewat Telepon”, seseorang bernama
Sa’ad Khamis selalu berkata kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin setiap
selesai melakukan sesion rekaman, dengan perkataan, “Semoga Allah
memberi balasan kepada anda dengan kebaikan wahai Syaikh dan semoga
Allah merahmati kedua orang tua anda.” Saat itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
berkata, “Amin, wahai Sa’ad. Lalu untuk saya mana?” Sa’ad berkata,
“Semoga Allah merahmati kedua orang tua anda.” Asy-Syaikh pun berkata,
“Amin. Dan untuk saya mana?” Sa’ad akhirnya menyadari perkataan
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, maka ia pun berkata, “Semoga Allah merahmati
anda dan orang tua anda, dan semoga memberi balasan dengan yang lebih
baik kepada anda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tersenyum dan kemudian
tertawa. Kami pun akhirnya tertawa bersama. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a
Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal.
63)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin Menjahit Sendiri Pakaiannya Diceritakan
oleh seorang murid beliau bahwa suatu ketika ia mengunjungi Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin di Mekkah. Saat itu sedang musim haji dan beliau berada di
dalam penginapannya. Ia jumpai beliau sedang menjahit jubahnya. (Ibn
‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)
Kesederhanaan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah seseorang yang memiliki
sifat sederhana dan rendah hati. Beliau tidak suka tidur di atas kasur
ataupun di alas yang empuk, namun beliau biasa tidur di lantai atau di
atas tikar dari ijuk (jerami) yang akan memberikan bekas di punggung
beliau. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163) Melawan Rasa Kantuk
demi Umat Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan: Suatu malam
saat kami sedang melakukan rekaman untuk acara radio (Nur ‘ala Darb),
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin nampak diserang rasa kantuk. Dari kejadian ini
diketahui bahwa beliau adalah seorang yang sangat sabar, toleran, dan
bersemangat untuk segala sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat untuk
umat. Beliau berusaha melawan rasa kantuknya sehingga kami bisa
melanjutkan proses rekaman. Beliau meminta berhenti sebentar dan minta
kabel mikrofon dipanjangkan sehingga beliau bisa menjawab pertanyaan
sambil berdiri. Kami memberi beliau mikrofon kecil yang bisa ditempelkan
di baju beliau dengan kabel yang lebih panjang. Beliau melanjutkan
menjawab pertanyaan sambil berjalan-jalan di sekitar ruangan untuk
menghilangkan rasa kantuk. Ini dilakukan beliau sampai proses rekaman
selesai. Inilah perhiasan seorang ulama sejati dan keutamaan yang mereka
terapkan dalam semua urusan umat baik dalam keilmuan maupun amalan
mereka. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 56)
Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan
Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll (www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar