السـلام عليكم و رحمة الله وبركا ته

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه. أما بعد

Jumat, 03 Februari 2012

HABIB BIN ZAID RADHIYALLÂHU'ANHU


Pembawa Surat
untuk
Nabi Palsu 

Sosok yang dipilih Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam untuk menyerahkan surat ke Musailamah al-Kadzdzâb si nabi palsu adalah Habîb bin Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzûl bin ‘Amr bin Ghânim bin an-Najjâr al-Anshâri al-Mâzini an-Najjâri.[1] Beliau seorang yang mulia yang berasal dari keluarga yang baik.
Kedua orang tua dan saudaranya termasuk para Sahabat yang telah berbaiat kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pada baiat ‘Aqabah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau hidup di sisi Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, berjihad bersamanya.[2]
Ibnu Sa’ad 'alaihissalam berkata, “Habib radhiyallâhu'anhu telah ikut serta dalam peperangan Uhud, Khandaq dan peperangan lainnya”[3].

KEMUNCULAN NABI PALSU
Pada suatu hari muncullah fitnah yang besar di selatan Jazirah Arab, yaitu munculnya dua pembohong besar yang mengaku sebagai nabi. Satu di kota Shan’â, bernama al-Aswad al-‘Ansi. Dan satu lagi di kota Yamâmah, Musailamah al-Kadzdzâb. Keduanya mengajak manusia untuk mengimani kenabian mereka.
Waktu itu, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dikejutkan dengan datangnya utusan yang membawa surat dari Musailamah. Tertulis di dalamnya, “Dari Musailamah utusan Allâh, kepada Muhammad Rasûlullâh. Semoga keselamatan selalu tercurah padamu. ‘Amma ba’du. Sesungguhnya aku telah ikut serta dalam perkara (kenabian) bersamamu. Bagiku separoh bumi dan bagi Quraisy separoh lainnya. Akan tetapi, suku Quraisy (engkau) telah berbuat melampaui batas”.
Sebelum utusan tersebut kembali kepada Musailamah, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam memanggil salah seorang Sahabat yang biasa menulis surat untuk beliau. Setelah itu, beliau mendektekan isi surat balasan yang berisi: “Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasûlullâh kepada Musailamah al-Kadzdzâb (pembohong), semoga keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. ‘Amma ba’du. Sesungguhnya bumi adalah milik Allâh Ta'âla. Dia mewariskannya kepada siapa saja yang dikehendaki”
Setelah surat tersebut sampai kepadanya, Musailamah al-Kadzdzâb bertambah congkak dan kian semangat menyebarkan kebohongannya. Ia dan para pengikutnya melancarkan teror dan intimidasi terhadap kaum Muslimin. Bahkan melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin yang menolak untuk menjadi pengikutnya.
Begitu mengetahui Musailamah semakin meresahkan kaum muslimin, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ingin mengirim surat kepadanya guna melarang perbuatannya itu. Akhirnya, jatuhlah pilihan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pada Habîb bin Zaid radhiyallâhu'anhu untuk mengantar surat tersebut kepada sang pendusta.

KETEGARAN HABIB BIN ZAID RADHIYALLÂHU'ANHU
Sosok pemberani, tegar serta kokoh keislaman dan keimanannya ini, berangkat dengan membawa surat yang mulia dari Sayyidul Anbiyâ war rusul, Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan hati penuh dengan harapan Musailamah akan masuk Islam. Setelah sampai di Yamâmah, surat tersebut diserahkan kepada Musailamah. Ia membaca dan lantas merobek-robeknya dengan penuh kesombongan dan kecongkakan.
Tidak lama kemudian, dia mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di hadapan mereka. Musailamah bertanya kepada Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh?” Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu menjawab,” Ya, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh”. Dengan wajah tampak pucat, Musailamah kembali bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allâh? Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu menjawab, “Aku tidak mendengar”.
Wajah Musailamah berubah seketika itu menjadi kemerahan saking murkanya kepada Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu. Kemudian si nabi palsu memanggil algojonya untuk memotong anggota badan Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu setiap kali menjawab dengan jawaban tersebut. Pertanyaan pun diulang-ulangi, akan tetapi, Sahabat yang mulia ini teguh pada pendiriannya, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban serupa, meskipun satu-persatu anggota tubuh beliau dipotong, sampai akhirnya beliau meninggal dunia.
Sebenarnya, jika beliau menghendaki untuk mengatakan, “Ya, aku bersaksi bahwa dirimu adalah utusan Allâh” dengan hati tetap penuh dengan keimanan kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya , maka hal itu tidak akan mengurangi keimanan beliau sedikit pun. Namun, sosok seperti beliau ini yang pernah ikut baiat aqobah bersama bapak, ibu, dan saudaranya, lebih memilih mati syahid di jalan Allâh Ta'âla daripada hidup di dunia yang fana ini.
Demikianlah cuplikan kisah ketegaran Sahabat mulia Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu yang tidak takut terhadap kematian dalam mempertahankan akidahnya.

PELAJARAN DARI KISAH
  1. Keutamaan Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu karena beliau adalah orang yang dipilih oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagai pembawa surat ke Musailamah al-Kadzdzâb.
  2. Keberanian dan keteguhan hati Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu dalam mempertahankan akidah.
  3. Mati syahid lebih utama daripada hidup dalam kekafiran.
  4. Kesabaran di jalan dakwah atas musibah yang menimpa termasuk di antara bekal seorang da’i.
  5. Besarnya kesetiaan para Sahabat g terhadap Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam .
  6. Kemuliaan akhlaq Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak mau membunuh utusan orang kafir meskipun utusan tersebut kafir.
  7. Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir, penutup para nabi dan rasul. Tidak ada nabi dan rasul setelahnya kecuali nabi dan rasul palsu.
  8. Di antara mekanisme dakwah yang disyariatkan adalah dakwah melalui tulisan. Dalam hal ini, dakwah melalui media masa, koran, majalah, bulletin maupun melalui internet termasuk di dalamnya. Wallâhu a’lam

[Abu Hammam Nurkholis Kurdian]
[1]Al-Isti’aab fii ma’rifatil ash-haab (Jilid 1/Hal.381). Dar-Alkutub Al-ilmiyah - Beirut. Cet. ke2 - th 1422 H /2002 M.
[2]Dikutip dari Rijal Haular Rasul (Hal.130). Maktabah Syamilah 3.
[3]Al Ishabah fi Tamyizish shahabah (Jilid 2/Hal.18). Dar-Alkutub Al-ilmiyah Beirut. Cet. Ke3 - th 1426 H/2005 M.
(Syakhshiyah [Baituna] : Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar