Hidup di akhir zaman, siapa saja tidak lepas dari lantunan suara
musik atau nyanyian. Mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang
yang sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan
mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya.
Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah
bisa lepas dari “gitar” dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh
berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al Haq (penerang Al Qur’an
dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian.
Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan Kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Allah.
Lalu apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada Kalamullah dan
meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman
ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan
mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang
membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai
meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan kalam-kalam para
ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan dan
juga perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian. Mungkin
kita adalah di antara orang-orang yang gandrung. Semoga dengan
mengetahui hal ini, Allah membuka hati kita dan memberi hidayah pada
kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
[Pertama] Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى
مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ
لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia
belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka
beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya
mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang
dimaksud dengan “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka
mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya.
Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf
mengenai tafsiran ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash
Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsiran ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan, “Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada
ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan
makna tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, 20/127).
Begitu pula tafsiran yang sama dikatakan oleh Mujahid, Sa’ib bin
Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata
bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang). (Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105).
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah
segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa
berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap
kemungkaran.” Lalu Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang
mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untul makna lahwal hadits
adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. (Lihat Fathul Qadir, 5/483)
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat
bisa sebagai hujjah bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok
mengatakan bahwa seharusnya setiap yang haus akan ilmu mengetahui bahwa
tafsiran sahabat –di mana para sahabat lah yang menyaksikan turunnya
wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya beliau mengatakan bahwa
menurutnya tafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan
hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah tafsiran sahabat,
tetap tafsiran mereka lebih didahulukan daripada tafsiran orang-orang
sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang
maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di
masa mereka hidup.”(Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/240)
Jadi, jelaslah bahwa makna lahwal hadits dengan nyanyian patut kita
terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Kedua] Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka
bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud saamiduun?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas. (Lihat Zaadul Masiir, 5/448)
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, lalu mereka
malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).” (Ighatsatul Lahfan, /258)
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
[Hadits Pertama]
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan
selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari
telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang
yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa
kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak
mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu
mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah
mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka
serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari
kiamat”
(Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas). Jika dikatakan ‘menghalalkan musik‘, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dishahihkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Begitu pula hal yang sama dikatakan oleh An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
Memang ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang
mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan
cacatnya hadits di atas, sehingga mereka pun menghalalkan musik.
Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak me-maushul-kan
sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan
kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin
‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al
Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, maka itu sama saja dengan
perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits
itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh
tegas (jazm). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm (tegas), maka
sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling
mungkin, karena begitu banyak orang yang meriwayatkan dari Hisyam dan
dia adalah guru yang sudah sangat masyhur. Sedangkan Al Bukhari adalah
hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam
periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam
kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa
dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih
menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam
kitab shahih[?]
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau nengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita
buang, maka hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat
dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.
(Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260)
[Hadits Kedua]
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr,
mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik
dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi
dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Hadits Ketiga]
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau mengatakan,
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu
beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau
pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’,
apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku
masih mendengarnya.”
Kemudian Ibnu ‘Umar terus berjalan, lalu aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan
kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau
melakukannya seperti tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari dua hadits pertama dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti
yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian
ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang
menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang
sama dengannya yaitu menjauhi dari mendengar musik, sehingga hal ini
menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar
tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik tatkala mendengar
suara nyanyian atau alat musik, namun tidak berdosa. Maka cukup kami
katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
(julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah),“Demi Allah, bahkan mendengarkan
nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama
seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak
mendengarnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/567)
Perkataan Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin Muhammad
pernah ditanyakan tentang nyanyian lalu beliau menjawab, “Aku melarang
nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang
yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim
pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang
benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan
‘nyanyian’[?]”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz
pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya
adalah: ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi
pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal
dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari
para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik
serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan
meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki
kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al Walid
mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian
karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga
diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa
membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong
seseorang untuk berbuat zina.” (Lihat Talbis Iblis, 289)
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
Imam Abu Hanifah membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. (Lihat Talbis Iblis, 282)
Imam Malik bin Anas
pun melarang nyanyian dan melarang mendengarkannya. Sampai-sampai Imam
Malik mengatakan, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak
tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia
kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” (Talbis Iblis, 284)
Imam Asy Syafi’i
mengatakan, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai
karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah
kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” (Talbis Iblis, 283)
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.” (Talbis Iblis, 280)
Bila Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga sekali, beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan
yang tidak disyari’atkan, maka pasti dia akan kurang bersemangat dalam
melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh
berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang
disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin
mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya
pun akan semakin sempurna.”
Lalu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu,
banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang
tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka pasti karena maksudnya,
dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan
sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.” (Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/543)
Jadi perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki
Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah
begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian
“Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk
menata hati. Namun sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah
jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’ yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan
santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, maka mereka pasti tidak akan
begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu
senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan
tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir
(nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi
lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/567)
Sebagai penutup, kami hanya katakan bahwa pengganti nyanyian dan
musik adalah dengan mendengarkan Al Qur’an karena inilah yang
disyari’atkan dan inilah yang bisa menata dan menghidupkan hati. Jika
seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi
ganti dengan yang lebih baik.
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya
Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
—
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel UstadzKholid.Com, juga dipublikasikan di Rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar