(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)
Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]
RENUNGAN
Contoh-contoh teladan yang dibawakan oleh syaikh di atas tidak lain adalah sebagai cambuk bagi kita (khususnya penulis sendiri) yang masih sangat kurang dan jauh dari akhlak para ulama. Terkadang –karena bisikian syaitan- kita merasa akhlak kita sudah baik karena seringnya kita berhusnudzon pada jiwa kita yang sangat lemah ini. Namun jika kita membaca perjalanan hidup para ulama dan menela'ah akhlak mereka nampaklah bahwasanya kita sungguh jauh dan sangat jauh….
Padahal kalau kita perhatikan dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah yang sangat memperhatikan masalah akhlak dan penerapannya terhadap masyarakat disamping memperhatikan masalah aqidah.
Bahkan bukanlah hal yang berlebihan jika kita katakan bahwa dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang menitikberatkan pada aqidah dan akhlaq. Itulah ciri dakwah Nabi, bahkan ciri ini dikenal oleh musuh-musuh Nabi dari kalangan kaum musyrikin.
Tatkala Heroqlius bertemu dengan Abu Sufyan –yang tatkala itu masih dalam musyrik- maka Heroqlius bertanya kepadanya perihal ciri-ciri Nabi. Diantara pertanyaan Heroqlius adalah
مَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ "Apa yang diperintahkan Nabi tersebut kepada kalian?".
Maka Abu Sufyan yang tatkala itu gembong kaum musyrikin berkata,
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
"Ia (Muhammad) berkata, "Tauhidkanlah Allah dalam beribadah dan janganlah kalian berbuat kesyirikan apapun bentuknya, dan tinggalkanlah apa yang telah dikatakan oleh nenek moyang kalian", dan dia (Muhammad) memerintahkan kami untuk mengerjakan sholat dan menunaikan zakat dan untuk besikap jujur dan menjaga kehormatan diri serta menyambung silaturahmi" (HR Al-Bukhari no 7)
Demikianlah ternyata dakwah nabi dikenal dikalangan kaum musyrikin sebagai dakwah tauhid dan dakwah akhlaq. Oleh karena itu Abdullah bin Salaam pernah berkata, "
لَمَّا أَنْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ ، وَانْجَفَلَ النَّاسُ قِبَلَهُ فَقَالُوا : قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجِئْتُ فِى النَّاسِ لأَنْظُرَ إِلَى وَجْهِهِ ، فَلَمَّا أَنْ رَأَيْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ، فَكَانَ أَوَّلُ شَىْءٍ سَمِعْتُ مِنْهُ أَنْ قَالَ :« يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَأَفْشُوا السَّلاَمَ ، وَصِلُوا الأَرْحَامَ ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ».
Tatkala Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mendatangi kota Madinah dan orang-orangpun segera pergi menyambut beliau dan mereka berkata, "Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah datang". Maka akupun mendatangi orang-orang untuk melihat wajah Nabi. Tatkala aku melihat wajahnya maka aku tahu bahwasanya wajah beliau bukanlah wajah pendusta. Dan yang pertama aku dengar dari beliau adalah sabda beliau "Wahai manusia, berilah makan, tebarkanlah salam, sambunglah silaturahmi, dan sholatlah di malam hari tatkala orang-orang dalam keadaan tidur niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan" (HR Ibnu Majah no 3251 dan Ahmad 39/201 no 23784 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Lihatlah Nabi membuka dakwahnya di kota Madinah dengan menyeru kepada penerapan akhlaq yang mulia. Oleh karenanya bagaimana dakwah Ahlus sunnah tidak menitik beratkan masalah akhlaq sedangkan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 45)
Bahkan barangsiapa yang mengamati dalil-dalil yang mendorong untuk berakhlak mulia maka ia akan kaget dan tidak akan berhenti rasa ta’jubnya karena terlalu banyaknya dalil-dalil tersebut. Dia akan terpukau dan ta’jub dengan ganjaran dan pahala yang diberikan kepada orang yang berakhlak mulia. Diantaranya sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ السَّاهِرَ بِاللَّيْلِ الظَّامِىءِ بِالْهَوَاجِرِ
Sesungguhnya seseorang dengan akhlaknya yang mulia mencapai derajat orang yang bergadang (karena sholat malam) dan orang yang kehausan di siang yang panas (karena puasa). (Dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no 794)
Demikian pula sabda beliau
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
"Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia" (HR At-Thirmidzi, Ibnu Maajah dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Juga sabda beliau
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya diantara mereka”. (HR At-Thirmidzi no 1162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah no 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 284)
Juga sabda beliau
مَا مِنْ شَىْءٍ أَثْقَلُ فِى الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
"Tidak ada yang lebih berat di timbangan (kebalikan pada hari qiamat) dari pada akhlaq yang baik" (HR Abu Dawud dan At-Thirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 876)
Juga sabda beliau sebagaimana diriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dan dari kakeknya bahwsanya ia mendengar Nabi berkata,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ فَأَعَادَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ الْقَوْمُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَحْسَنُكُمْ خُلُقًا
"Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat kelak?".
Maka para sahabatpun terdiam, lalu Nabi mengulangi perkataannya tersebut sebanyak dua kali atau tiga kali. Maka para sahabat menjawab, "Iya ya Rasulullah". Nabipun berkata, "Yang paling baik akhlaqnya diantara kalian" (HR Ahmad 11/347 no 6735 dengan sanad yang hasan)
Nabi juga bersabda
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
"Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan masuk neraka?, atau neraka diharamkan untuknya?. Yaitu diharamkan bagi setiap orang yang dekat (dengan orang lain), ringan (dengan orang lain) dan mudah (berakhlak mulia)" (HR At-Thirmidzi no 2488 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di as-Shahihah no 935, dan lihat penjelasan hadits ini dalam tuhfatul ahwadzi 7/160)
Bahkan terlalu banyak ayat dan hadits yang mengkaitkan antara aqidah dengan akhlaq, karena memang akhlaq merupakan penerapan aqidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin untuk beribadah kepadaNya dan untuk berbuat baik kepada hamba-hambaNya sebagaimana firman Allah
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا (٣٦)
sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS An-Nisaa' 36)
Dan ini merupakan perintah untuk berakhlaq yang tinggi (mulia) dan Allah mencintai akhlaq yang mulia dan membenci akhlaq yang buruk" (Majmuu' al-Fataawaa 1/195)
Lihatlah pada ayat di atas Allah menggandengkan antara tauhid dengan akhlaq yang mulia.
Oleh karena Nabi dalam banyak hadits menegaskan bahwa akhlaq yang mulia adalah bukti dari aqidah dan keimanan yang benar. Diantaranya sabda beliau
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia mengganggu tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata yang baik atu diam" (HR Al-Bukhari dan Muslim)
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
"Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak amanah" (HR Ahmad 19/376 no 12383 dengan sanad yang hasan)
Karena memang tidaklah seseorang menjaga lisannya kecuali karena keyakinannya akan adanya malaikat Allah yang mencatat seluruh amalannya dan akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat kelak. Demikian juga tidaklah seseorang memuliakan tamunya kecuali karena imannya yang kuat bahwa Allah akan membalas kebaikannya. Demikian pula tidaklah seseorang menjaga amanah kecuali karena imannya yang kuat dan keyakinannya bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabannya pada hari kimat kelak.
Sebaliknya jika ada orang yang bicaranya ceplas ceplos, tidak dia pikirkan dampak buruk ucapannya, bisa jadi menyebabkan banyak keburukan atau menyakiti hati orang lain, ini menunjukan bahwa imannya kurang….meskipun ia menghapal diluar kepala hadits ini… ilmunya itu hanya sekedar hiasan bibir tanpa ada penerapan.
Demikian juga jika ada orang yang mengaku beraqidah yang benar lantas tidak amanah dan tidak jujur maka ketahuilah imannya itu hanya hiasan bibir. Bagaimana tidak? Sedangkan Rasulullah menafikan keimanan dari orang yang tidak amanah.
Demikian juga jika ada orang yang mengaku beraqidah yang benar lantas pelit sehingga tidak memuliakan tamunya, menunjukan keimanan dan aqidah yang dia aku-akui tersebut hanyalah hiasan bibir belaka. Akan tetapi keyakinannya lemah sehingga bersikap pelit. Oleh karena itu Nabi pernah bersabda
وَلَا يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
"Dan tidak akan terkumpul rasa pelit dan keimanan dalam hati seorang hamba selamanya" (HR An-Nasaai no 3110 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Oleh karena itu dengan tulisan ini aku mengajak diriku khususnya dan para pembaca sekalian untuk mengoreksi diri kita… apakah pengakuan kita selama ini bahwasanya kita berada di atas aqidah dan keimanan yang benar hanya sebatas ilmu dan wawasan dengan tanpa bukti…??!!, apakah hanya sebagai hiasan bibir saja..??
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memasukkan penerapan akhlaq yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata dalam risalah beliau yang berjudul al-'Aqiidah al-Waashithiyyah -yang dimana beliau menulis risalah ini untuk menjelaskan aqidahnya al-firqoh an-naajiah ahlus sunnah wal jama'ah-,
وَيَدْعُوْنَ إِلَى مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ وَمَحَاسِنِ الأَعْمَالِ وَيَعْتَقِدُوْنَ مَعْنَى قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم : ( أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقَا ) وَيَنْدُبُوْنَ إِلَى أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَيَأْمُرُوْنَ بِبِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَصِلَةِ الأَرْحَامِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالإِحْسَانِ إِلَى الْيَتَامَى وَالمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالرِّفْقِ بَالْمَمْلُوْكِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ وَالْبَغْيِ وَالاِسْتِطَالَةِ عَلَى الْخَلْقِ بِحَقٍّ أَوْ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَأْمُرُوْنَ بِمَعَالِي الأَخْلاَقِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ سَفْسَافِهَا
"Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama'ah) menyeru kepada (penerapan) akhlaq yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi "yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka". Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama'ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama'ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlaq yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk"
Kita harus bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa dakwah Ahlus sunnah adalah dakwah yang dikenal dengan dakwah aqidah dan akhlaq sebagaimana orang-orang musyrik mengenal dakwah Nabi demikian.
Kita harus menunjukan bahwasanya ahlus sunnah adalah orang yang berakhlaq mulia…. Lihatlah bagaimana akhlaq para ulama kita, bacalah sejarah syaikh Bin Baaz, syaikh Utsaimin, dan syaikh Albani, niscaya kita akan mendapatkan penerapan akhlaq yang mulia dari mereka, juga sepercik teladan yang telah kita lihat dari syaikh Abdurrozzaq yang memberikan contoh nyata di zaman kita.
Bukankah Nabi kita dikenal sebagai orang yang sangat berakhlak?, bahkan betapa banyak kaum musyrikin yang masuk Islam karena melihat akhlak beliau…?
Lihatlah bagaimana Khodijah berdalil dengan akhlak Nabi untuk menunjukan kepada Nabi bahwasanya beliau adalah orang yang tidak akan dihinakan oleh Allah?
Khodijah berkata
فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
Demi Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah” (HR Al-Bukhari I/4 no 3 dan Muslim I/139 no 160)
Para pembaca yang budiman…lihatlah sifat-sifat Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang disebutkan oleh Khadijah, ternyata semuanya bermuara pada point, yaitu memberi manfaat kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka serta menghilangkan kesulitan mereka. Inilah pribadi Rasulullah yang merupakan cerminan akhlak yang sangat mulia.
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda
وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 426)
Oleh karena itu barang siapa yang hendak menjadi pemegang panji pembela kebenaran, dalam mendakwahkan risalah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka ia harus berusaha merealisasikan sifat-sifat ini pada dirinya baik dalam perkataan maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagai bentuk teladan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam.
Atau dengan ibarat lain yang lebih jelas bahwasanya barangsiapa yang memutuskan tali silaturahmi atau tidak memberi faedah kepada masyaratkat padahal ia memiliki kedudukan atau posisi penting, atau sikapnya keras terhadap fakir miskin dan orang-orang yang lemah, hatinya tidak tergugah dengan rintihan mereka, matanya tidak meneteskan air mata karena kasihan kepada mereka, maka hendaknya janganlah ia berangan-angan menjadi pemegang panji utama pembela kebenaran, hendaknya ia menyerahkan panji tersebut kepada orang lain karena sesungguhnya ia belum layak menjadi penerus Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam dalam memimpin umatnya, Allahul Musta’aan…!!!!
Bahkan merupakan perkara yang ajaib yang sangat luar biasa yaitu Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tersohor sebagai orang yang amanah di kalangan orang-orang kafir quraisy. Bahkan pembesar-pembesar mereka mengetahui hal ini. Oleh karena itu tatkala mereka –para kafir Quraisy- hampir saling menumpahkan darah tatkala mereka bertikai dalam hal peletakan hajar aswad maka akhirnya merekapun bersepakat untuk menjadikan keputusan permasalahan mereka berada di tangan orang yang pertama kali masuk ke al-masjidil harom dari pintu sofa. Ternyata yang pertama kali masuk dari pintu adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam –yang tatkala itu masih belum menjadi nabi-. Serta merta mereka serentak berkata, "Telah datang kepada kalian orang yang amanah". Akhirnya Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam memberikan keputusan kepada mereka yang memuaskan seluruh pihak. (Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (34/261 no 15504) dan sanadnya dishaihihkanoleh para pentahqiq musnad Ahmad, sebagaimana dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam ta'liq beliau terhadap fiqhus siroh hal 84)
Yang menjadi perhatian kita, ternyata Nabi tersohor diantara para pembesar kaum kafir Quraisy bahwasanya beliau berakhlaq yang mulia yaitu memiliki sifat amanah yang sangat bisa dipercaya. Oleh karena itu para kafir Quraisy menyimpan uang mereka di Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, tatkala Nabi belum diutus sebagai seroang Rasul. Tidaklah hal ini mereka lakukan kecuali karena tersohornya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dengan sifat Amanah.
Bahkan yang sangat mena'jubkan, apakah setelah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam diutus sebagai seorang Rasul maka merekapun mencabut uang mereka dari nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan tidak menitipkannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??. Setelah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam diutus sebagai seorang rasul jadilah kaum kafir di kota Mekah memusuhi Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, yaitu permusuhan dalam aqidah dan keyakinan. Bagaimana mereka tidak membenci nabi, sementara Nabi mencela sesembahan-sesembahan mereka, bahkan menyalahkan nenek moyang mereka yang terjerumus dalam kesyirikan??. Akan tetapi apakah permusuhan dan kebencian mereka yang amat sangat kepada Nabi membuat mereka mengambil kembali harta mereka yang telah mereka titipkan kepada Nabi..???
Ternyata tidak, bahkan meskipun mereka memusuhi nabi, dan bahkan memberi gelaran kepada Nabi dengan gelaran-gelaran yang sangat buruk seperti penyihir, penyair gila, pendusta, dan gelaran-gelaran lainnya, akan tetapi mereka tetap menitipkan harta mereka kepada Nabi. Sampai-sampai tingkat kebencian mereka terhadap nabi sudah tidak terbendungkan hingga akhirnya mereka bersepakat untuk membunuh nabi. Yang hal ini akhirnya membuat nabi harus keluar dari kota Mekah untuk berhijrah ke Madinah.
Namun sungguh luar biasa sifat amanah yang dimiliki nabi, tatakala beliau pergi berhijroh beliau memerintahkan Ali bin Abi Tholib untuk tetap di Mekah dan mengembalikan seluruh harta titipan kaum musyrikin Quraisy yang telah mereka titipkan kepada Nabi. Alipun menetap di Mekah selama tiga hari untuk mengambalikan harta titipan tersebut, setalah itu baru beliau menyusul Nabi. (Hadits ini dikatakan oleh Ibnul Mulaqqin, "Masyhuur di buku-buku shiroh dan yang lainnya", setelah itu beliau membawakan takhrij tentang kisah ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaaq dalam kitab shirohnya sebagaimana juga dihikayatkan oleh al-Baihaqi. (lihat Al-Badr al-Muniir 7/304). Sanad kisah ini dihasankan oleh DR Mahdi Ahmad dalam kitabnya "As-Shiroh An-Nabawiyyah fi dhoui al-mashoodir al-asliyyah 1/318)
Lihatlah meskipun Nabi telah sadar bahwasanya kaum musyrikin Quraisy berencana dan bersepakat untuk membunuh beliau namun beliau tetap menjaga harta mereka, bahkan tidak terbetik sama sekali dalam hati beliau untuk mengambil harta mereka. Bisa jadi syaitan datang dan menggoda serta membisikan, "Ambil saja harta tersebut, bukankah bisa digunakan untuk berdakwah?, bukankah mereka hendak membunuhmu…??". Akan tetapi nabi tetap mengembalikan amanah yang telah dititipkan kepada beliau. Allahu Akbar, betapa tinggi akhlaq nabi. Sungguh benar firman Allah
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan engkau sungguh berada di atas akhlaq yang agung" (QS Al-Qolam 4)
Karenanya Allah tidak pernah bersumpah dengan umur seorangpun kecuali umur Nabi Muhammad. Allah berfirman
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ (٧٢)
Demi umurmu (Muhammad), Sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan) (QS al-Hijr : 72)
Ibnul Qoyyim berkata, "Ini merupakan keutamaan Nabi yang sangat agung dimana Allah bersumpah dengan kehidupan (umur) beliau. Ini merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh selain beliau…
Dan tidak diragukan lagi bahwasanya kehidupan Nabi merupakan anugerah Allah yang sangat agung" (At-Tibyaan fi Aqsaamil qur'an hal 269)
Hal ini tidak lain karena kehidupan Nabi dipenuhi dengan hikmah dan akhlaq yang mulia.
PERINGATAN
Sebagian orang menyangka bahwasanya yang dinamakan dengan ketakwaan adalah hanyalah menjalankan dan menunaikan hak-hak Allah tanpa memperhatikan hak-hak hamba-hambaNya. Mereka menyangka bahwasanya penerapan ajaran agama hanya terbatas pada bagaimana hubungan dengan Allah (dalam menunaikan hak-hak Allah) tanpa memperhatikan bagaimana berakhlak mulia terhadap hamba-hambaNya. Akhirnya mereka benar-benar melalaikan penunaian hak-hak hamba-hamba Allah, kalau tidak secara total minimal mereka kurang dalam menunaikan hak-hak para hamba Allah yang hal ini mengantarkan mereka menjadi orang-orang yang menggampang-gampangkan perbuatan zolim terhadap sesama mereka.
Berkata Ibnu Rojab Al-Hanbali tatkala mengomentari hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah engkau kepada Allah kapan dan dimana saja engkau berada, dan ikutkanlah suatu kejelekan dengan perbuatan baik maka kebaikan tersebut akan menghapus kejelekan tersebut, serta pergaulih manusia dengan akhlak yang baik (HR At-Thirmidzi (IV/355 no 1987), Ahmad (V/153 no 21392), dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jaami’ no 97)
“Dan sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (Dan peragaulilah manusia dengan akhlak yang baik), ini merupakan salah satu bentuk ketakwaan dan tidak akan sempurna ketakwaan kecuali dengan hal ini. Akan tetapi Rasulullah menyendirikan penyebutannya karena perlu untuk menjelaskannya[1]. Karena banyak orang yang menyangka bahwa ketakwaan itu adalah menjalankan hak-hak Allah tanpa (menjalankan atau memperhatikan) hak-hak hamba-hambaNya. Maka Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjelaskan (menegaskan) hal ini untuk berakhlak yang baik terhadap manusia. Nabi telah mengutus Mu’adz ke negeri Yaman sebagai pengajar bagi penduduk Yaman, juga sebagai orang yang akan menjelaskan hukum-hukum agama bagi mereka serta sebagai hakim diantara mereka. Barangsiapa yang seperti ini maka ia butuh kepada dengan akhlak yang baik tatkala berinteraksi dengan masyarakat.
Tidak sebagaimana orang lain yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak berinteraksi dengan masyarakat. Orang-orang yang telah memberikan perhatian mereka dalam menjalankan hak-hak Allah, senantiasa untuk cinta, takut, dan taat kepada-Nya, mereka sering diliputi dengan sikap melalaikan hak-hak para hamba, baik secara total atau kurang dalam menunaikan hak-hak tersebut.
Menggabungkan antara menjalankan hak-hak Allah dan hak-hak hamba-hambaNya merupakan perkara yang sulit sekali, tidak ada yang bisa melaksanakannya kecuali orang-orang yang sempurna dari kalangan para nabi dan para siddiiq” (Jaami’ul Ulum wal Hikam I/212)
Dan sesungguhnya engkau akan kaget jika melihat sebagian orang yang sangat bersemangat untuk menjalankan syi’ar-syi’ar ibadah serta sangat memperhatikan penampilan luar mereka yang sesuai dengan syari’at, bahkan semangat dalam menegakkan sunah-sunnah ibadah seperti sholat sunnah, puasa sunnah, tilawah Al-Qur’an, dan yang lainnya, namun mereka tidak memberikan perhatian yang besar pada sisi bermu’amalah dengan sesama manusia. Mereka tidak memberikan tempat yang mulia bagi akhlak yang mulia. Oleh karena itu –sungguh sangat disayangkan- engkau dapati pada sebagian mereka mengalir sikap dengki, hasad, ujub (kagum dengan diri sendiri), merasa tinggi di hadapan yang lain, perbuatan dzolim, permusuhan, pertikaian, saling menghajr, dusta, saling berolok-olok, menyelisihi janji, tidak membayar hutang (meskipun sebenarnya ia mampu), tidak amanah, tenggelam dalam membicarakan aib-aib saudara-saudara mereka, tatabbu’ (mencari-cari) kesalahan-kesalahan saudara-saudara mereka, dan yang lain sebagainya. Yang hal ini sangat kontradiksi dengan penampilan luar mereka yang menunjukkan akan perhatian yang besar dari mereka untuk menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam.
Kita dapati sebagian mereka tatkala melihat ada seseorang yang isbal (menjulurkan sarung atau celana hingga melebihi mata kaki) yang hal ini jelas-jelas menyelisihi sunnah Nabi maka merekapun serta merta mengingkari dengan keras, bahkan sebagian mereka terlalu berlebih-lebihan sehingga menjadikan hal ini sebagai standar untuk mengukur sesat atau tidaknya seseorang tanpa memperhatikan apakah orang yang isbal itu memiliki syubhat ataukah orang yang tidak tahu pengharaman isbal. Namun di lain pihak jika mereka melihat seseorang sedang menggibah saudara mereka atau memperolok-oloknya maka tidak ada sama sekali pengingkaran ini, padahal yang namanya ghibah orang awampun mengetahui akan keharamannya.
Seakan-akan di sisi mereka mu’amalah terhadap sesama saudara mereka bukanlah suatu agama, atau orang yang berakhlak mulia tidak mendapatkan ganjaran pahala yang besar. Seakan-akan pahala hanya terbatas pada tidak isbal dan memanjangkan jenggot.
Atau seakan-akan perbuatan zolim terhadap manusia yang lain bukanlah sesuatu yang berarti. Padahal perbuatan dzolim kepada sesama hamba lebih berat dan bahaya jika dibanding dengan perbuatan dzolim seorang hamba terhadap dirinya sendiri karena hak-hak para hamba dibangun di atas qisos adapun hak-hak Allah dibangun diatas kemudahan dan pema’afan. Barang siapa yang berbuat kesalahan yang berkaitan dengan hak-hak Allah maka mudah baginya kapan saja untuk beristighfar dan meminta ampunan kepada Allah dan Allah akan mengampuninya. Akan tetapi jika ia menzolimi manusia yang lain maka tidak ada yang menjamin bahwa orang tersebut akan merelakan haknya, tidak ada yang menjamin bahwa orang tersebut akan menghalalkannya dan memaafkannya. Bahkan pada hak-hak para hamba tergabung dua hak yaitu hak hamba dan hak Allah karena Allah tidak ridho terhadap perbuatan dzolim.
Pada hakekatnya orang-orang seperti mereka ini telah menghancurkan apa yang telah mereka bangun, merusakkan amalan mereka, mereka telah menggugurkan kebaikan-kebaikan mereka tanpa mereka sadari.
Sebagian mereka bersusah payah di malam hari untuk sholat malam dan bertilawah al-Qur’an namun pada pagi harinya tidak satu kebaikanpun yang tersisa bagi mereka. Sebagian mereka telah bersusah payah mengumpulkan kebaikan-kebaikan mereka sebesar gunung dari sholat, puasa, sedekah, dzikir, dan lain sebagainya namun ternyata amalan-amalan mereka tersebut tidak sampai naik kepada Allah dikarenakan mereka telah melakukan sebagian amalan yang merupakan akhlak yang buruk.
Rasulullah bersabda
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرْفَعُ لَهُمْ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مَتَصَارِمَانِ
Tiga golongan yang tidak diangkat sejengkalpun sholat mereka ke atas kepala mereka, seorang lelaki yang mengimami sebuah kaum dan mereka benci kepadanya, seorang wanita yang bermalam dalam keadaan suaminya marah kepadanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan hubungan (HR Ibnu Majah I/311 no 971 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashobiih no 1128)
Lihatlah…, Rasulullah menegaskan bahwa dua orang yang saling menghajr (namun bukan karena hajr yang disyari'atkan) maka sholatnya tidak akan diterima oleh Allah, padahal betapa banyak orang yang menghajr karena hawa nafsunya. Ibnu Taimiyyah berkata : "Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah." (Majmuu’ al-Fataawa 28/203-210)
Bisa jadi juga meskipun amalan-amalan mereka diterima namun kemudian mereka menghancurkan kebaikan-kebaikan mereka tersebut dengan berbagai model dosa-dosa besar yang berkaitan dengan perbuatan dzolim terhadap manusia yang lain.
Rasulullah bersabda
وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ
Dan sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal (sholeh) sebagaimana cuka yang merusak madu. (HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth (I/259 no 850), dan Al-Mu’jam Al-Kabiir (X/319 no 10777). Berkata Al-Haitsami, “Pada sanadnya ada perawi yang bernama ‘Isa bin Maimuun Al-Madani dan dia adalah perawi yang lemah” (Majma’ Az-Zawaid VIII/24). Dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 907).
Berkata Al-Munawi, “Rasulullah memberi isyarat bahwa seseorang hanyalah bisa memperoleh seluruh kebaikan dan mencapai tempat yang tertinggi serta tujuan yang paling akhir adalah dengan akhlak yang mulia. Mereka (para ulama) berkata bahwa hadits ini termasuk jawami’ul kalim” (Faidhul Qodiir 3/506)
Berkata Al-‘Askari, “Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan amalan kebajikan jika ia menggandengkannya dengan akhlak yang buruk maka akan merusak amalannya dan menggugurkan pahalanya sebagaimana seseorang yang bersedekah jika mengikutkan sedekahnya dengan al-mann (menyebut-nyebut sedekahnya sehingga menyakiti yang disedekahi)” (Faidhul Qodiir 4/113-114)
Renungkanlah hadits berikut ini:
قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ فُلاَنَةً تُصَلِّي اللَّيْلَ وَتَصُوْمَ النَّهَارِ ((وعند أحمد: إِنَّ فُلاَنَةً يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلاَتِهَا وَصِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا)) وَفِي لِسَانِهَا شَيْءٌ يُؤْذِي جِيْرَانَهَا سَلِيْطَةً قَالَ لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ فِي النَّارِ وَقِيْلَ لَهُ إِنَّ فُلاَنَةً تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَتَصَدَّقُ بِالأَثْوَارِ وَلَيْسَ لَهَا شَيْءٌ غَيْرُهُ وَلاَ تُؤْذِي أَحَدًا قَالَ هِيَ فِي الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah, “Dikatakan kepada Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, “Sesungguhnya si fulanah sholat malam dan berpuasa sunnah (Dalam riwayat Ahmad, “Sesungguhnya si fulanah disebutkan tentang banyaknya sholatnya, puasanya, dan sedekahnya”) namun ia mengucapkan sesuatu yang mengganggu para tetangganya, lisannya panjang[2]?”. Rasululllah berkata, “Tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka”. Dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya si fulanah sholat yang wajib dan berpuasa pada bulan Ramadhan serta bersedekah dengan beberapa potong susu kering, dan ia tidak memiliki kebaikan selain ini, namun ia tidak mengganggu seorangpun?”. Rasulullah berkata, “Ia di surga” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (IV183 no 7304), Ibnu Hibban (Al-Ihsan XIII/77 no 5764), dan Ahmad (II/440 no 9673), berkata Al-Haitsami, “Dan para perawinya tsiqoh (terpercaya)” (Majma’ Az-Zawaid VIII/169) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhiib no 2560)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan disebutkan dalam Al-Ihsan (XIII/77 no 5764) dalam babذِكْرُ الأَخْبَارِ عَمَّا يَجِبُ عَلَى الْمَرْءِ مِنْ تَرْكِ الْوَقِيْعَةِ فِي الْمُسْلِمِيْنَ وَإِنْ كَانَ تَشْمِيْرُهُ فِي الطَّاعَاتِ كَثِيْرَا (Penyebutan hadits-hadits tentang kewajiban seseorang untuk meninggalkan mengganggu kaum muslimin dengan lisannya meskipun ia bersemangat besar dalam menjalankan ketaatan-ketaatan)
Renungkanlah kondisi wanita yang kedua, amalannya hanya pas-pasan. Ia hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan baginya dan disertai dengan sedikit sedekah[3], meskipun demikian ia tidak pernah mengganggu tetangganya dengan ucapannya. Serta merta Rasulullah menyatakan bahwasanya, “Ia di surga”.
Adapun wanita yang pertama maka ia telah mengganggu tetangga-tetangganya dengan lisannya??. Meskipun ia begitu bersemangat untuk sholat malam dan memperbanyak puasa sunnah serta banyaknya sedekahnya namun semuanya itu tidak bermanfaat baginya. Amalannya jadi sia-sia, pahalanya terhapus, bahkan bukan cuma itu, iapun berhak untuk masuk kedalam neraka !!!. Lantas bagaimana lagi dengan sebagian kita yang sangat sedikit ibadahnya, tidak pernah berpuasa sunnah, apalagi sholat malam, lalu lisan kita dipenuhi dengan beraneka ragam kemaksiatan…??!!
Kebanyakan orang merasa berat untuk mengganggu atau menyakiti atau mendzolimi kaum muslimin dengan gangguan fisik, akan tetapi sangat mudah bagi mereka untuk menyakiti dengan menggunakan lisan mereka. Renungkanlah perkataan ‘Ali Al-Qori tatkala mengomentari hadits ini, ((Mungkin saja pengkaitan gangguan sang wanita dengan gangguan lisan karena kebanyakan gangguan diakibatkan oleh gangguan lisan. Dan yang paling kuat (paling terasa sakit) bagi seseorang jika diganggu dengan lisan, sebagaimana perkataan seorang penya’ir
جَرَاحَاتُ السِّنَانِ لَهَا الْتِئَامٌ وَلاَ يَلْتَامُ مَا جَرَحَ اللِّسَانُ
Luka-luka akibat sayatan pedang bisa sembuh
Namun tidak bisa sembuh luka akibat sayatan lisan)) [Mirqootul Mafaatiih IX/200]
Berkata Ali Al-Qori, “Rasulullah berkata, “Ia di neraka”, karena ia telah menjalankan ibadah-ibadah yang disunnahkan namun telah melakukan gangguan yang merupakan perkara yang diharamkan dalam syari’at. Dan banyak orang yang terjerumus dalam model yang seperti ini. Bahkan sampai-sampai tatkala mereka masuk dalam masjidil haram dan tatkala mengusap rukun ka’bah yang mulia (yaitu rebut-rebutan hingga menyakiti saudaranya hanya karena ingin menjalankan perkara yang mustahab yaitu mengusap rukun ka’bah-pen). Diantaranya juga adalah perbuatan orang-orang dzolim yang mengumpulkan harta yang haram (baik dengan mencuri, korupsi, berjudi, riba, atau yang lainnya-pen) kemudian menyalurkan harta tersebut untuk membangun mesjid, sekolah-sekolah, serta memberi makan (fakir miskin)…” [Mirqootul Mafaatiih IX/200]
Bahkan bisa jadi tatkala ditimbang maka pahala sholat, puasa, dan sedekah mereka tidak sebanding dengan dosa kedzoliman yang mereka perbuat.
Rasulullah bersabda
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka” (HR Muslim IV/1997 no 2581)
Awas jangan sampai tertipu!!!
Sebagian orang tatkala merasa telah mengamalkan tauhid dan menjauhi kesyirikan serta mengamalkan al-Kitab dan as-Sunnah bahkan mendakwahkannya maka mereka lalai dari mengamalkan akhlak yang mulia. Perasaan mereka bahwa mereka telah menguasai ilmu tauhid dengan baik telah memperdaya mereka dari memperhatikan pengamalan akhlak yang mulia. Mereka lalai dari menunaikan hak-hak saudara-saudara mereka, atau minimal mereka kurang dalam menunaikan hak-hak mereka. Namun yang lebih menyedihkan lagi, bukan hanya kurang dalam menunaikan hak-hak saudara-saudara mereka, bahkan mereka berbuat dzolim kepada saudara-saudara mereka dengan lisan-lisan dan tulisan-tulisan mereka. Sungguh mereka telah menggabungkan antara dua keburukan yaitu kurang dalam menunaikan hak-hak saudara-saudara mereka dan berbuat dzolim terhadap mereka.
Syaikh Al-Albani berkata,
((Tauhid ini telah kita pelajari, telah kita fahami dengan baik, serta telah kita realisasikan dalam aqidah kita. Akan tetapi kesedihan telah memenuhi hatiku…, aku merasa bahwasanya kita telah tertimpa penyakit gurur (terpedaya) dengan diri sendiri tatkala kita telah sampai pada aqidah ini serta perkara-perkara yang merupakan konsekuensi dari aqidah ini yang telah kita ketahui bersama seperti beramal dengan dasar Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak berhukum kepada selain Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Kita telah melaksanakan hal ini yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim –yiatu pemahaman yang benar terhadap tauhid dan beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah- yang berkaitan dengan fikih yang dimana kaum muslimin telah terpecah menjadi beragam madzhab dan telah menempuh jalan yang berbeda-beda seiring dengan berjalannya waktu yang panjang selama bertahun-tahun.
Akan tetapi nampaknya –dan inilah yang telah aku ulang-ulang dalam banyak pengajian- bahwasanya dunia Islam ini –dan termasuk di dalamnya adalah para salafiyin sendiri- telah lalai dari sisi-sisi yang sangat penting dari ajaran Islam yang telah kita jadikan sebagai pola pikir kita secara umum dan mencakup seluruh sisi kehidupan. Diantara sisi penting tersebut adalah akhlak yang mulia dan istiqomah dalam menempuh jalan.
Banyak dari kita yang tidak perduli dengan sisi ini -yaitu memperbaiki akhlak dan memperindah budi pekerti- padahal kita semua membaca dalam kitab-kitab sunnah yang shahih sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ السَّاهِرَ بِاللَّيْلِ الظَّامِىءِ بِالْهَوَاجِرِ
Sesungguhnya seseorang dengan akhlaknya yang mulia mencapai derajat orang yang bergadang (karena sholat malam) dan orang yang kehausan di siang yang panas (karena puasa)[4]
Kita juga membaca dalam Al-Qur’an Al-Karim bahwasanya bukanlah termasuk akhlak Islam adanya perselisihan diantara kaum muslimin -dan secara khusus adalah kita yaitu diantara para salafiyin- hanya karena perkara-perkara yang semestinya tidak sampai menimbulkan perselisihan dan pertikaian. Kita membaca firman Allah tentang hal ini
وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah (QS. Al-Anfaal :46)…))[5]
Sebagian orang tatkala merasa telah menjalankan sunnah dengan baik maka mereka mudah mengeluarkan orang lain dari sunnah hanya karena kesalahan-kesalahan yang masih bisa ditoleransi. Sebagian mereka menghajr saudara-saudara mereka sesama ahlus sunnah tanpa dalil yang jelas. Ini merupakan akhlak yang buruk
Syaikh Al-Albani berkata,
((Dengarlah nas-nas hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang berisi ancaman-ancaman yang berat bagi orang yang menghajr tanpa hak.
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ كُلَّ يَوْمِ اثْنَيْنِ وَخَمِيْسٍ فَيُغْفَرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمَيْنِ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيٍئًا إِلاَّ مَنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيْهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis lalu pada dua hari tersebut diampuni seluruh hamba yang tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu apapun kecuali orang yang antara dia dan saudaranya ada permusuhan maka dikatakan, “Tungguhkanlah kedua orang ini (tidaklah diampuni) hingga mereka berdua damai, tungguhkanlah kedua orang ini (tidaklah diampuni) hingga mereka berdua damai, tungguhkanlah kedua orang ini (tidaklah diampuni) hingga mereka berdua damai” (HR Abu Dawud IV/279 no 4916 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat Goyatul Maram hadits no 412))
Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ((diampuni seluruh hamba yang tidak mensyerikatkan Allah dengan sesuatu apapun)), merupakan kabar yang menggembirakan kita, dan kita mengharapkan kebaikan dengan hadits ini, karena kita adalah para da'i yang menyeru kepada tauhid, dan kitalah yang mengangkat bendera dakwah kepada tauhid dan memberantas kesyirikan dengan segala macam bentuknya. Maka kita menyangka kita langsung masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, sebagaimana dikatakan sekarang tanpa perlu “transit”, karena kita bertauhid kepada Allah dan sama sekali tidak berbuat syirik kepada Allah. Namun perkaranya tidaklah demikian…!!! cermatilah hadits ini, pahamilah, dan berusalah terapkan (cocokan) dengan kehidupan kalian sehari-hari
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ كُلَّ يَوْمِ اثْنَيْنِ وَخَمِيْسٍ فَيُغْفَرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمَيْنِ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيٍئًا إِلاَّ مَنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيْهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis lalu pada dua hari tersebut diampuni seluruh hamba yang tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu apapun kecuali orang yang antara dia dan saudaranya ada permusuhan maka dikatakan, “Tungguilah kedua orang ini (tidaklah diampuni) hingga mereka berdua damai, tungguilah kedua orang ini (tidaklah diampuni) hingga mereka berdua damai, tungguilah kedua orang ini (tidaklah diampuni) hingga mereka berdua damai”
((Tungguhkanlah kedua orang ini)) yaitu tunggulah dahulu, sabarlah dahulu, janganlah (mencatat) ampunan bagi mereka sampai mereka berdua berdamai dan kembali menjadi
إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
saling bersaudara yang duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. (QS. AL-Hijr :47)
Kemudian Nabi shallallahu 'alihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang lain
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرْفَعُ لَهُمْ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مَتَصَارِمَانِ
Tiga golongan yang tidak diangkat sejengkalpun sholat mereka ke atas kepala mereka, seorang lelaki yang mengimami sebuah kaum dan mereka benci kepadanya, seorang wanita yang bermalam dalam keadaan suaminya marah kepadanya, dan dua orang yang saling memutuskan hubungan. (HR Ibnu Majah I/311 no 971 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashobiih no 1128)
Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ((dan dua orang yang saling memutuskan hubungan)) yaitu saling memutuskan hubungan dan saling menghajr.
Jika demikian maka saling memutuskan hubungan, saling menghajr, saling meninggalkan satu terhadap yang lainnya tanpa adanya sebab yang syar’i, -akan tetapi hanya karena perbedaan pendapat-, maka akibat buruk yang ditimbulkannya antara lain sholatnya tidak akan diangkat kepada Allah dan tidak diterima oleh Allah. Sebagaimana firman Allah
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. (QS. 35:10)
Sholat kedua orang yang saling menghajr ini tidaklah diangkat ke Allah dan tidak diterima.
Kebanyakan sikap saling memutuskan hubungan dan menghajr adalah dikarenakan persangkaan-persangkaan serta dugaan-dugaan (yang buruk) -yang terlintas di pikiran seseorang- terhadap suadaranya sesama muslim….” (Diterjemahkan dari Silsilah Nuur ‘ala Ad-Darb, kaset no 23)
PENUTUP
Akhirnya segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan nikmatNya kepada hamba-hambaNya. Semoga sepenggal goresan tangan ini bisa menggugah kembali semangat para pembaca yang sekalian untuk menunutut ilmu, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. Juga menambah fokus para pembaca dalam pembenahan akhlaq.
اللّهُمَّ اهْدِنَا لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنَّا سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
Ya Allah tunjukkanlah kepada kami untuk berhias dengan akhlaq yang terbaik karena tidak ada yang bisa menunjukkan kami kepada hal itu kecuali Engkau, dan jauhkanlah kami dari akhlaq yang buruk dan tidak ada yang bisa menjauhkan kami darinya kecuali Engkau.
Dan semoga kita bisa termasuk dalam orang-orang yang memperoleh janji Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dalam sabdanya
« أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ »
"Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran surga bagi siapa yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada di atas kebenaran, dan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya bercanda, dan sebuah rumah di tempat tertinggi di surga bagi siapa yang membaguskan akhlaqnya" (HR Abu Dawud no 4802 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul Jami' no 1464)
Aaaminn yaa Robbal 'Aaalmiiin.
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Metode seperti ini dikenal di
kalangan ulama dengan metode ذِكْرُ الْخَاصِ بَعْدَ الْعَامِ "Penyebutan
sesuatu yang khusus setelah penyebutan sesuatu yang umum" yang
fungsinya untuk menunjukan keutamaan sesuatu yang khusus tersebut,
padahal yang khusus tersebut telah termasuk dalam keumuman yang
disebutkan sebelumnya. Kita mengetahui bersama bahwasanya akhlaq yang
mulia termasuk dari ketaqwaan, namun Nabi menyendirikan penyebutannya
setelah penyebutan ketakwaan untuk menunjukan pentingnya akhlaq yang
mulia. Metode ini sebagaimana dalam firman Allah
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh" (QS Yunus 9), disendirikannya penyebutan "amal sholeh" untuk menunjukan pentingnya amal sholeh, padahal amal sholeh jelas merupakan keimanan. Hal ini sebagaimana jika seseorang berkata, "Telah datang para ulama dan syaikh Bin Baaz", adalah untuk menunjukan keutamaan syaikh Bin Baaz, padahal beliau termasuk ulama.
[2] Berkata Ibnu Manzhur, “Jika mereka berkata امْرَأَةٌ سَلِيْطَةٌ maka maksud mereka ada dua yang pertama wanita tersebut adalah طَوِيْلَةُ اللِّسَانِ wanita yang panjang lisannya (banyak omongannya sehingga menyakiti orang lain) dan yang kedua adalah حَدِيْدَةُ اللِّسَانِ wanita yang tajam lisannya” (Lisaanul ‘Arob (VII/320)
[3] Oleh karena itu disebutkan apa yang telah disedekahkan oleh wanita yang kedua ini (yaitu beberapa potong susu kering). Berkata Ali Al-Qori, “Penyebutan ini merupakan isyarat bahwa sedekahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan sedekah wanita yang pertama” (Mirqootul mafaatiih IX/201)
[4] As-Silsilah Ash-Shahihah no 794
[5] Diterjemahkan dari Silsilah Nuur ‘ala Ad-Darb, kaset no 23
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh" (QS Yunus 9), disendirikannya penyebutan "amal sholeh" untuk menunjukan pentingnya amal sholeh, padahal amal sholeh jelas merupakan keimanan. Hal ini sebagaimana jika seseorang berkata, "Telah datang para ulama dan syaikh Bin Baaz", adalah untuk menunjukan keutamaan syaikh Bin Baaz, padahal beliau termasuk ulama.
[2] Berkata Ibnu Manzhur, “Jika mereka berkata امْرَأَةٌ سَلِيْطَةٌ maka maksud mereka ada dua yang pertama wanita tersebut adalah طَوِيْلَةُ اللِّسَانِ wanita yang panjang lisannya (banyak omongannya sehingga menyakiti orang lain) dan yang kedua adalah حَدِيْدَةُ اللِّسَانِ wanita yang tajam lisannya” (Lisaanul ‘Arob (VII/320)
[3] Oleh karena itu disebutkan apa yang telah disedekahkan oleh wanita yang kedua ini (yaitu beberapa potong susu kering). Berkata Ali Al-Qori, “Penyebutan ini merupakan isyarat bahwa sedekahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan sedekah wanita yang pertama” (Mirqootul mafaatiih IX/201)
[4] As-Silsilah Ash-Shahihah no 794
[5] Diterjemahkan dari Silsilah Nuur ‘ala Ad-Darb, kaset no 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar