SHALAT JENAZAH DARI KEJAUHAN (SHALAT GHAIB)
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Barangsiapa meninggal dunia di negara di mana di dalamnya tidak ada
orang yang menshalatkannya dengan kehadiran secara langsung, maka orang
seperti ini dapat dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan
shalat Ghaib. Hal itu berdasarkan pada shalat Ghaib yang dilakukan oleh
Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam terhadap raja An-Najasyi yang telah
diriwayatkan oleh sejumlah sahabat beliau, yang sebagian saling
menambahkan sebagian lainnya.
Dan saya pun telah menghimpun hadits-hadits mereka mengenai hal tersebut
lalu saya menyitirnya dalam satu redaksi sebagai upaya mendekatkan
faidah. Dan redaksi hadits Abu Hurairah adalah sebagai berikut.
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu
sedang berada di Madinah) pernah mengumumkan berita kematian an-Nasjasyi
(Ashhamah) (raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya.
(beliau bersabda : “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia
–dan dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang
shalih telah meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya,
hendaklah kalian menshalatinya)”, (Mereka berkata : “Siapakah dia itu?”
Beliau menjawab : “an-Najasyi”) (Beliau juga bersabda : “Mohonkanlah
ampunan untuk saudara kalian ini”). Perawi hadits ini pun bercerita :
Maka beliau berangkat ke tempat shalat (dan dalam sebuah riwayat
disebutkan : Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, beliau maju dan mereka pun
berbaris di belakang beliau (dua barisan) (dia bercerita : “Maka kami
pun membentuk shaff di belakang beliau sebagaimana shaff untuk shalat
jenazah dan kami pun menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan
atas seorang jenazah). (Dan tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di
hadapan beliau)” (Dia bercerita : “Maka kami bermakmum dan beliau
menshalatkannya). Seraya bertakbir atasnya sebanyak empat kali”.
Diriwayatkan oleh al Bukhari (III/90,145,155 dan 157), Muslim (III/54),
dan lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud (II/68-69), an Nasa’i
(I/265 dan 280), Ibnu Majah (I/467), al-Baihaqi (IV/49), ath-Thayalisi
(2300), Ahmad (II/241, 280, 289, 348, 438, 439, 479,539) melalui
beberapa jalan dari Abu Hurairah.
Perlu juga diketahui bahwa shalat Ghaib yang kami sebutkan diatas bukan
yang dikandung oleh hadits lainnya. Oleh karena itu, kami telah
didahului oleh sekumpulan muhaqqiq madzhab untuk memilihnya. Berikut ini
ringkasan dari ungkapan Ibnul Qayim rahimahullah dalam masalah ini. Di
dalam Kitab Zaadul Ma’aad (I/205-206) beliau mengatakan.
“Bukan petunjuk dan sunnah Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam
untuk mengerjakan shalat ghaib bagi setiap orang yang meninggal dunia.
Sebab, cukup banyak kaum muslimin yang meninggal dunia sedangkan mereka
jauh dari Rasulullah, namun beliau tidak menshalatkan mereka dengan
shalat ghaib. Dan diriwayatkan secara shahih dari beliau bahwa beliau
telah menshalatkan shalat jenazah atas an-Najasyi. Lalu muncul perbedaan
pendapat mengenai hal tersebut dalam tiga jalan :
1). Yang demikian itu merupakan syari’at sekaligus sunnah bagi ummat
Islam untuk mengerjakan shalat ghaib atas setiap muslim yang meninggal
dunia di tempat yang jauh. Dan hal itu merupakan pendapat asy Syafi’i
dan Ahmad.
2). Abu Hanifah dan Malik mengemukakan, ‘Yang demikian itu khusus baginya saja dan tidak untuk yang lainnya’.
3). Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Yang benar
adalah bahwa orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di
suatu negara yang tidak ada seorang pun yang menshalatkan di negara
tersebut, maka dia perlu dishalatkan dengan shalat ghaib, sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas
jenasah an-Najasyi, karena dia meninggal di tengah-tengah orang-orang
kafir dan tidak ada yang menshalatkannya.Seandainya dia sudah
dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan
dengan shalat ghaib atas jenazahnya. Sebab, kewajiban itu telah gugur
dengan shalatnya kaum muslimin atas dirinya. Dan NabiShallallahu ‘alaihi
wa sallam mengerjakan shalat ghaib dan meninggalkannya. Sedang apa
yang dikerjakan dan apa yang beliau tinggalkan merupakan sunnah. Dan ini
menempati porsinya masing-masing. Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dalam
Madzhab Ahmad, terdapat tiga pendapat dan yang paling shahih diantaranya
adalah rincian ini’”
Saya katakan : Ini menjadi pilihan sebagian muhaqqiq dari pada penganut
madzhab asy-Safi’i. Di dalam kitab Ma’aalim as-Sunan,al-Khaththabi
mengatakan, yang dikemukakan sebagai berikut:
Perlu saya sampaikan : “An-Najasyi adalah seorang muslim yang telah
beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan
kenabian beliau, hanya saja dia menyembunyikan keimanannya. Dan seorang
muslim jika meninggal dunia, maka kaum muslimin berkewajiban untuk
menshalatkannya, kecuali jika dia berada di tengah-tengah kaum kafir,
sedang dia tidak ada seorangpun yang ada di sekitarnya yang mau
menshalatkannya, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengharuskan diri untuk mengerjakan shalat tersebut, karena beliau
merupakan Nabi sekaligus walinya serta yang paling berkewajiban
melakukan hal tersebut. Demikianlah –wallahu a’lam- sebab yang mendorong
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan shalat jenazah
dari kejauhan (shalat Ghaib)”.
Berdasarkan hal tersebut, maka jika ada seorang muslim meninggal dunia
di salah satu Negara, lalu kewajiban shalat jenazah atas dirinya sudah
ditunaikan, maka tidak perlu lagi orang lain yang berada di negara lain
untuk mengerjakan shalat Ghaib untuknya. Dan jika dia mengetahuinya
bahwa yang meninggal tersebut tidak dishalatkan karena adanya rintangan
atau alasan yang menghalanginya, maka disunnahkan untuk menshalatkannya
dan hal itu tidak boleh ditinggalkan hanya karena jarak jauh.
Dan jika mengerjakan shalat atas jenazahnya, maka mereka harus menghadap
kiblat dan tidak perlu menghadap ke arah negara jenazah itu berada jika
negara tersebut terletak tidak searah dengan kiblat.
Sebagian ulama memakruhkan shalat Ghaib atas seorang jenazah. Mereka
mengklaim bahwa apa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya khusus bagi beliau saja, karena beliau berhukum sama seperti
orang yang menyaksikan an-Najasyi. Yang demikian itu didasarkan pada apa
yang diriwayatkan dalam beberapa kabar : ‘Bahwasanya bumi ini telah
diratakan sehingga beliau dapat melihat tempat an-Najasyi berada {1].
Yang demikian itu merupakan penafsiran yang salah, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu perbuatan yang
berhubungan dengan syari’at maka kita harus mengikuti dan menirunya. Dan
pengkhususan itu tidak dikenal kecuali dengan dalil. Dan di antara yang
menjelaskan hal tersebut adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah pergi bersama orang-orang ke tempat shalat, lalu beliau
membuat barisan bersama mereka, lalu mereka pun shalat bersama beliau,
dengan demikian dapat diketahui bahwa penafsiran ini salah. Wallahu
a’lam.
Ar-Ruyani –seorang penganut madzhab asy-Syafi’i juga- secara baik
menyampaikan pendapat yang sama seperti pendapat al-Khaththabi, yang ia
juga merupakan pendapat Abu Dawud, di mana dia menerjemahkan hadits
tersebut di dalam kitab Sunannya melalui bab tersendiri yang dibuatnya,
yaitu “Bab fii ash-Shalaah ‘alaal Muslimi Yamuutu fii Bilaadi asy-Syirk
(bab Shalat Jenazah Atas Orang Muslim Yang Meninggal Dunia Di Negara
Orang Musyrik)”. Dan pendapat tersebut menjadi pilihan Syaikh Shalih
al-Maqbili, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Nailul Authar
(IV/43). Dalam hal itu dia berdalilkan pada tambahan yang tedapat pada
beberapa jalan hadits.
“Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia di luar negeri
kalian, karenananya bangkit dan kerjakan shalat atas jenazahnya”. Dan
sanadnya shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhan.
Dan di antara yang memperkuat tidak disyariatkannya shalat Ghaib bagi
setiap orang yang meninggal di tempat yang jauh adalah riwayat yang
menyebutkan, ketika para Khulafa-ur Rasyidin dan juga yang lainnya
meninggal dunia, tidak ada seorangpun dari kaum muslimin yang
mengerjakan shalat Ghaib atas mereka. Seandainya mereka mengerjakan hal
tersebut, sudah barang tentu nukilan dari mereka mengenai hal tersebut
benar-benar mutawatir.
Sekarang perbandingkanlah hal tersebut dengan apa yang sekarang banyak
dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini, di mana mereka mengerjakan
shalat Ghaib bagi setiap orang yang meninggal di tempat yang jauh,
apalagi jika orang yang meninggal tersebut memiliki kedudukan dan nama
baik sekalipun hanya dari sisi politik saja dan tidak diketahui
kepedulian dan pengabdiannya terhadap Islam. Jika meninggal dunia di
tanah suci Makkah lalu dishalatkan secara langsung oleh ribuan kaum
muslimin pada musim haji. Bandingkan apa yang kami sebutkan dengan
shalat yang seperti ini, niscaya secara yakin anda akan mengetahui bahwa
yang demikian itu bagian dari bid’ah yang tidak memiliki hubungan sama
sekali dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
madzhab Salaf Radhiyallahu ‘anhum.
[Disalin secara ringkas dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi
Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah hal. 216-223, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,
Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Di dalam kitab al-Majmuu (V/253), Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa
kabar ini hanya merupakan khayalan-khayalan belaka. Kemudian dia
menyebutkan hadits al-Ala bin Zaidal mengenai pelipatan bumi ini bagi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau dapat pergi dan
mengerjakan shalat tas jenazah Mu’awiyah bin Mu’awiyah di Tabuk. Dan dia
mengatakan bahwa ia merupakan hadits dhaif yang dinilai dha’if oleh
para Huffazh, yang diantaranya adalah al-Bukhari dan al-Baihaqi.
http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar