السـلام عليكم و رحمة الله وبركا ته

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه. أما بعد

Kamis, 02 Agustus 2012

Islam dibangun di atas Lima Perkara { Hadist ke-3 Arbain Annawawiyyah }


Hadits Ke 3


عَنْ اَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : بُنِيَ الْاِسْلَامُ عَلَي خَمْسٍ : شَهَادَةِ اَنْ لَا اِلَهَ اِلّا اللّهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَ اِقَامِ الصّلَاةِ وَ اِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ حَجِّ الْبَيْتِ وَ صَوْمِ رَمَضانَ (رواه البخاري و مسلم)


Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”(HR.Bukhori dan Muslim)


Syarah (penjelasan hadits)

Sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam dibangun di atas lima perkara". Hal ini menerangkan tentang keagungan lima perkara ini, dan menunjukkan bahwa Islam dibangun di atas lima perkara ini. ini merupakan penyerupaan secara maknawi dengan bangunan yang bersifat konkrit. Sebagaimana bangunan tidak bisa tegak kecuali di atas tiang-tiangnya, maka demikian pula Islam hanya tegak di atas lima perkara ini. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut lima perkara ini karena semuanya merupakan asas bagi perkara-perkara yang lainnya. Ada pun perkara-perkara lainnya akan mengikuti lima perkara ini.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullaah menyebutkan hadits ini setelah hadits Jibril yang mencakup lima perkara ini, sebab hadits ini menerangkan betapa pentingnya kelima perkara ini. Bahwa kelima perkara ini merupakan asas yang dibangun di atasnya agama Islam. Sehingga dalam hadits ini terdapat makna tambahan bagi hadits Jibril.

Kelima rukun yang menjadi pondasi agama Islam ini, yang pertama adalah dua kalimah Syahadah yang merupakan asas yang paling pokok (ushul). Rukun-rukun lainnya dan perkara-perkara lainnya mengikuti rukun ini (Syahadah). Rukun-rukun tersebut dan amal-amal yang lainnya tidaklah akan bermanfaat jika tidak didasari oleh dua kalimah Syahadah ini. Kedua kalimah ini saling berkaitan satu sama lain. Syahadah Muhammad Rasulullaah harus diikuti dengan syahadah Laa Ilaaha Illallaah. Konsekwensi dari syahadah Laa ilaaha illallaah adalah beribadah hanya kepada Allaah semata. Dan konsekwensi dari syahadah Muhammad rasulullaah adalah beribadah harus dengan mengikuti syariat Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Kedua asas ini harus ada dalam setiap amal yang dikerjakan oleh seorang manusia (hamba). Maka dia harus memurnikan keikhlasan hanya kepada Allaah semata dan memurnikan ittiba' hanya kepada Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullaah berkata : "Jika ada yang bertanya mengapa tidak disebutkan iman kepada Nabi, Malaikat dan lainnya yang dicakup oleh pertanyaan Jibril 'alaihis salaam? Maka jawabannya adalah : "Makna syahadah adalah membenarkan Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkara yang dibawa oleh beliau. Sehingga mencakup semua apa yang beliau sebutkan berupa keyakinan. Al-Isma'ili berkata yang kesimpulannya : Ini termasuk menyebut sesuatu dengan hanya menyebut sebagiannya saja. Sebagaimana engkau mengatakan : "Aku membaca Al-Hamd", maka maksudnya adalah membaca surat Al-Fatihah secara keseluruhan. Demikian juga jika engkau mengatakan : "Aku mempersaksikan kerasulan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam", maka maknanya adalah engkau mempersaksikan (mengimani) seluruh apa yang telah beliau sebutkan. Wallaahu 'alam (Al-Fath I/50).

Rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimah syahadah adalah shalat. Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mensifatinya sebagai tiang dari agama Islam. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits tentang wasiat beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada Mua'dz bin Jabal radhiyallaahu 'anhu yang merupakan hadits ke dua puluh sembilan dari Hadits Arbain ini. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pun meberitakan bahwa shalat merupalkan perkara agama yang akan hilang. Dan perkara pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat. Silakan merujuk kepada kitab Silsilah Hadits Ash-Shahihah karya Al-Imam Al-Albani rahimahullah no. 1739, 1358 dan 1748. Dengan shalat pula bisa dibedakan antara seorang muslim dan kafir. (Diriwayatkan Muslim no. 134)

Mendirikan shalat ada dua keadaan : Pertama : Wajib, yaitu menunaikannya minimal sesuai dengan tata cara yang diwajibkan sehingga dia dianggap telah menjalankan kewajiban.
Kedua : Mustahab, yaitu menyempurnakannya dengan melakukan segala hal yang dimustahabkan di dalam shalat.

Zakat merupakan gandengan dari shalat yang dijelaskan di dalam Kitabullaah dan Sunnah Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Firman Allaah Ta'ala :
فَاِنَّ تَابُوْا وَ اَقَامُوْا الصَّلَوةَ وَ ءَاتُوا الزَّكَوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ

"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan" (QS. At-Taubah : 5)

Dan Firman Allaah Ta'ala :

فَاِنَّ تَابُوْا وَ اَقَامُوْا الصَّلَوةَ وَ ءَاتُوا الزَّكَوةَ فَاِخْوَانُكُمْ فِي الدِّيْنِ

"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, Maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama.." (QS. At-Taubah : 11)

Dan firman Allaah Ta'ala :

وَ مَا اُمِرُوْا اِلّا لِيَعْبُدُوْا اللّهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلوةَ وَ يُوتُوا الزَّكَوةَ وَ ذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar mereka menyembah Allaah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah : 5)

Zakat adalah ibadah yang bersifat materi yang manfaatnya menyebar (tidak terbatas hanya untuk pelakunya saja). Allaah telah mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya dengan sifat yang menguntungkan bagi orang-orang miskin namun tidak merugikan orang kaya. Sebab zakat hanya berupa sejumlah kecil dari harta yang banyak.

Puasa Ramadhan adalah merupakan ibadah fisik. Puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, tidak ada yang melihatnya kecuali Allaah Ta'ala. Sebab diantara manusia ada yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan namun orang lain menganggapnya berpuasa. Bisa jadi pula seseorang melakukan puasa Sunnah dan orang lain menyangka dia tidak berpuasa. Karena itulah datang dalam sebuah hadits yang shahih bahwa seorang hamba akan diberikan balasan atas amalnya, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allaah Ta'ala berfirman :

"Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milik-Ku. Aku yang akan membalasnya." (HR. Al-Bukhari 1894 dan Muslim 194)

Semua amal adalah untuk Allaah. Sebagaimana Allaah Ta'ala telah berfirman :

"Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allaah, Robb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allaah)." (QS. Al-An'am : 162-163)

Namun dikhususkannya puasa di dalam hadits ini sebagai milik Allaah karena tersembunyinya ibadah ini, tidak ada yang melihatnya kecuali Allaah.

Haji ke Baitullaah adalah ibadah materi dan fisik. Allaah mewajibkan ibadah ini sekali dalam seumur hidup. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan beribadah haji di dalam sabdanya :

مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَ لَمْ يَفسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ

"Barangsiapa yang berhaji menuju Baitullaah ini, tidak melakukan rafats (jima, dan hal-hal yang menuju ke sana) dan tidak berbuat fasiq, maka dia pulang seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya." (HR. Bukhari 1820 dan Muslim 1350)

Demikian juga beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْعُمْرَةُ الَي الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَ الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلّا الْجَنَّةُ

"Umrah yang satu ke umrah yang lainnya merupakan kaffarah (penghapus) bagi dosa yang ada diantara keduanya. Dan hajji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga." (HR. Muslim no. 1349)

Hadits ini dalam redaksinya mendahulukan hajji sebelum puasa. Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Bukhari di awal Kitabul Iman dalam Shahihnya. Hadits ini dijadikan sebagai dasar bagi susunan kitabnya Al-Jami'ush shahih. Sehingga beliau mendahulukan Kitabul Hajj (pembahasan tentang hajji) sebelum Kitabush Shiyyam (pembahasan tentang puasa).

Telah datang dalam Shahih Muslim no. 19 hadits yang mendahulukan puasa sebelum hajji dan hajji sebelum puasa. Di jalur periwayatan yang pertama terdapat penegasan dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhumaa bahwa yang dia dengar dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah penyebutan puasa terlebih dahulu sebelum hajji. Berdasarkan hal ini didahulukannya penyebutan hajji sebelum puasa di sebagian riwayat termasuk kategori perubahan yang dilakukan rawi atau periwayatan secara makna (tidak kontekstual). Redaksinya pada Shahih Muslim dari Ibnu Umar dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

بُنِيَ الْاِسلاَمُ علَي خَمْسَةٍ : عَلَي اَنْ يُوَحَّدَ اللّهُ وَ اِقَامِ الصَّلَاةِ وَ اِيْتَاء الزَّكَاةِ وَ صِيَامِ رَمَضَانَ وَ الْحَجِّ

"Islam dibangun di atas lima perkara : Di atas ketauhidan kepada Allaah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhajji."

Seorang laki-laki berkata (kepada Ibnu Umar) : "Hajji dan puasa Ramadhan?" Beliau menjawab : "Tidak, puasa Ramadhan dan Hajji. Demikianlah aku memndengarnya dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kelima rukun ini disebutkan secara berurutan sesuai dengan urgensinya masing-masing. Dimulai dengan dua kalimah syahadah yang merupakan asas bagi setiap amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allaah Ta'ala. Kemudian shalat yang dilakukan berulang-ulang sebanyak lima kali sehari semalam. Sehingga shalat merupakan hubungan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Kemudian zakat yang wajib dikeluarkan dari harta jika telah berlalu satu tahun, sebab manfaatnya bisa menyebar. Kemudian puasa yang wajib dalam satu bulan dalam satu tahun, merupakan ibadah fisik yang manfaatnya hanya bersifat pribadi. Kemudian Hajji yang wajib sekali dalam seumur hidup.

Di dalam Shahih Muslim terdapat riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhumaa menyampaikan hadits ini ketika beliau ditanya seorang laki-laki, dia berkata kepadanya : "Tidakkah engkau berperang?" Kemudian beliau menyebutkan hadits ini. Di dalamnya terdapat isyarat bahwa jihad bukan termasuk dari rukun Islam. Sebab kelima perkara ini lazim dan kontinyu bagi setiap mukallaf. Berbeda dengan jihad, yang merupakan fardhu kifayah dan tidak setiap waktu.

Di antara kandungan hadits ini adalah :

1. Penjelasan urgensi kelima perkara ini karena menjadi pondasi bangunan Islam.

2. Menyerupakan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit agar lebih mengena dalam fikiran.

3. Memulai dengan yang paling penting.

4. Dua kalimah syahadah merupakan asas pada dua kalimah itu sendiri dan merupakan asas bagi yang lainnya. Sehingga sebuah amal tidak diterima kecuali dibangun di atas keduanya.

5. Mendahulukan shalat atas amal yang lainnya, karena merupakan penghubung yang kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Wallaahu 'alam

Sumber : فَتْحُ الْقَوِيِّ الْمَتِيْنِ فِيْ شَرْحِ اْلارْبَعِيْنَ وَ تَتِمَّةِ الْخَمْسِيْنَ لِلنَّوَوَيِّ وَابْنِ رَجَبَ رَحِمَهُمَا اللّهُ

للشّيخ عبد المحسن بن حمد العبّد البدر حفظه اللّه

(Oleh : Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr hafidzhahullaah)

1 komentar: